http://www.berita rakyat miskin.beras.blogspot.com
hotline : 081914444997


dpksrmi_kendal2013@yahoo.com

Rabu, 11 Juli 2012

Ratusan Rakyat Miskin Jakarta Tuntut Pilkada Bersih

Aksi massa SRMI di depan KPUD Jakarta Ratusan aktivis Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) menggelar aksi massa di kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jakarta, Selasa (10/7/2012). Mereka menuntut agar penyelenggaraan pilkada berlangsung bersih dan demokratis. “Kami menuntut pilkada yang bersih dari politik uang dan kecurangan. Tanpa itu, rakyat Jakarta sulit berharap pemerintahan yang lebih baik,” kata Ketua SRMI DKI Jakarta, M Setyo Ajiono, di Jakarta (10/7/2012).
Menurut pemuda yang akrab disapa Aji ini, pelaksanaan pilkada DKI masih dihantui sejumlah persoalan. Salah satunya, kata dia, adalah persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang bermasalah. Di satu sisi, kata Aji, ditemukan banyak sekali DPT fiktif. Tetapi, pada sisi yang lain, masih banyak rakyat Jakarta yang belum masuk dalam DPT. “Contohnya, warga Tanah Merah di Jakarta Utara. Ada puluhan ribu orang yang kehilangan hak politik,” ungkapnya. Untuk itu, Aji mendesak KPU agar segera membereskan persoalan itu. “Kalau memang bermasalah, maka ada baiknya Pilkada ditunda. Ketimbang nanti pilkada hanya menghasilkan pemimpin curang dan korup,” tegas Aji. Selain soal DPT, Aji juga menuntut agar KPU dan Panwaslu bersikap netral. Kedua lembaga ini dituntut tidak “masuk angin”. Sebab, seperti dikatakan Aji, penyelenggaran dan pengawas pemilu terkadang tidak netral. Dalam aksinya, SRMI juga mengajak massa-rakyat untuk bersama-sama mengawasi pelaksanaan pilkada. Termasuk potensi pengerahan aparatus birokrasi untuk memenangkan kandidat tertentu. Selain menggelar aksi di kantor KPUD Jakarta, ratusan massa SRMI ini juga menggelar aksi massa di kantor Gubernur DKI Jakarta. SRMI menyerukan agar rakyat memilih kandidat yang benar-benar pro-rakyat dan anti-neoliberal.

Selasa, 10 April 2012

Cara Bung Karno Membangkitkan Nasionalisme

Banyak kalangan yang mengusulkan perlunya membangkitkan nasionalisme. Berbagai seminar, diskusi, penelitian, dan kegiatan dibuat untuk tujuan itu. Akan tetapi, seperti kita ketahui, sebagian besar proyek itu mengalami kegagalan.

Dahulu, di jaman pergerakan anti-kolonialisme, proses pembangkitan nasionalisme berhasil dilakukan. Maklum, pada jaman itu, rakyat kita berhadapan dengan musuh yang jelas dan penindasan yang juga sangat terang.

Namun, bukankah sekarang problem penjajahan juga terang. Para pengamat, juga politisi dan aktivis, ramai-ramai berbicara tentang penjajahan gaya baru. Bahkan mantan Presiden RI, BJ Habibie, pernah menyinggung istilah ‘VOC berbaju baru’. Ya, baju baru kolonialisme sekarang adalah Neoliberalisme.

Bung Karno, salah seorang motor pergerakan nasional jaman itu, ternyata punya rumus bagaimana membangkitkan nasionalisme itu. Sebab, tidak seperti di pikirkan banyak orang, membangkitkan nasionalisme jaman itu juga bukan perkara gampang; ini membangkitkan nasionalisme rakyat yang ratusan tahun tertidur.

Bung Karno pun mengajukan tiga rumus:

Pertama, menunjukkan kepada rakyat tentang masa lampau yang gemilang.

Kolonialisme membuat rakyat kita patah harapan. Tidak sedikit yang menganggap penjajahan sebagai sesuatu yang sudah ‘hukum alam’. Bahkan tidak sedikit pula yang percaya kolonialisme sebagai proyek ‘memberadabkan’ nusantara.

Karena itu, guna membangkitkan nasionalisme rakyat, Bung Karno berbicara tentang masa lampau yang gemilang. Ia berbicara tentang masa keemasan kerajaan-kerajaan nusantara, seperti Sriwijaya, Singasari, dan Majapahit.

Bung Karno berbicara tentang masa kejayaan nusantara yang diakui oleh bangsa-bangsa lain, seperti Tiongkok, Persia, dan Madagaskar. Namun, tidak sedikit yang mencibir sikap Bung Karno ini.

Banyak yang menuding Bung Karno hendak menghidupkan jaman feudal. Tan Malaka, misalnya, menganggap ‘pengingatan tentang masa lampau yang gemilang’ sebagai tindakan kolot dan sudah berkarat.

Namun, di mata Bung Karno, ‘pembangkitan masa lampau’ itu bukanlah menghidupkan jaman feudal, melainkan menunjukkan bahwa nusantara punya potensi berkembang menjadi bangsa modern. Hanya saja, proses itu diganggu dan dihentikan oleh kolonialisme, sehingga perkembangan positif itu terhenti.

Kedua, menyadarkan rakyat tentang keadaan sekarang ini (penjajahan) sebagai jaman kegelapan.

Dalam urusan bongkar-membongkar kejahatan kolonialisme, mungkin Bung Karno adalah salah seorang ahlinya. Ia banyak sekali menulis karya-karya yang mengupas imperialisme dan kejahatan-kejahatannya.

Di dalam tulisan-tulisan itu, Bung Karno menyertakan data-data untuk menyakinkan orang tentang realitas penindasan itu. Ia menulis, misalnya, berapa kekayaan alam Indonesia yang diangkut oleh kolonialis.

Bung Karno mengatakan: “kesengsaraan itu bukan ‘omong kosong’ atau ‘hasutan kaum penghasut’. Kesengsaraan itu adalah suatu kenyataan atau realitet yang gampang dibuktikan dengan angka-angka.

Bung Karno juga sangat pandai menggali istilah yang tepat untuk menggambarkan penderitan rakyat Indonesia. Salah satunya Bung Karno mengatakan: “rakyat Indonesia hidup segobang sehari (2,5 sen).”

Ketiga, memperlihatkan masa depan yang berseri-seri dan gemilang.

Nah, di sini ada sedikit masalah, sebab tidak ada orang yang bisa memastikan keadaan masa depan. Paling-paling, kata Bung Karno, orang hanya bisa memberikan gambaran-gambaran saja.

Kaum marxist pun, kata Bung Karno, akan kesulitan menggambarkan masyarakat sosialis secara seksama. Paling-paling, kata Bung Karno, orang marxist menggambarkan kecenderungan-kecenderungan masyarakat sosialis saja.

Karenanya, yang paling bisa dilakukan cuma menebarkan janji-janji: kemakmuran, keadilan sosial, demokrasi, kemajuan seni dan budaya, dan lain-lain. Namun, proses merealisasikan janji-janji itu memerlukan perjuangan.

Nah, rumus Bung Karno membangkitkan nasionalisme itu bisa diringkas sebagai berikut: “rakyat Indonesia yang dahulu begitu bersinar-sinar dan tinggi kebesarannya, meskipun sekarang sudah hampir menjadi bangkai, rakyat Indonesia itu pasti cukup kekuatan dan cukup kebisaan mendirikan gedung kebesaran pula kelak di kemudian hari, pasti bisa menaiki lagi ketinggian tingkat derajatnya yang sediakala, ya, melebihi lagi tingkat ketinggian itu!”

Bung Karno menunjukkan bahwa masa depan bangsa Indonesia adalah tata masyarakat adil dan makmur, yaitu sosialisme Indonesia. Akan tetapi, sebelum menuju ke sana, terlebih dahulu harus dihilangkan penghalang-penghalangnya: stelsel (sistem) yang menghisap kaum marhaen, yakni kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Pendek kata, nasionalisme ala Bung Karno, yang sering disebut sosio-nasionalisme, bercita-cita menjadikan sosialisme Indonesia sebagai “terminus ad quem” (titik yang dituju).

Dengan demikian, proyek nasionalisme Indonesia adalah proyek jangka panjang yang disertai perjuangan. Itulah yang membedakannya dengan proyek nasionalis sekarang: sebuah proyek jangka pendek, yakni sekedar ‘merek dagang’ politik untuk pesta demokrasi lima tahunan.

IRA KUSUMAH

Venezuela Kembali Naikkan Upah Minimum 30%

Presiden Venezuela, Hugo Chavez, kembali berencana menaikkan upah minimum negeri itu sebesar 32,25% pada 1 Mei mendatang. Konon, kebijakan ini akan berdampak langsung kepada 3 juta keluarga di Venezuela.


Chavez menjelaskan, kenaikan upah itu akan berlangsung dalam dua tahap dan masing-masing naik 15%. Kenaikan 15% pertama direncanakan pada Mei mendatang, yang akan menaikkan rata-rata upah dari 1.548 bolivar ($ 360) per bulan menjadi 1,780.45 bolivar (sekitar $ 418).

Kenaikan kedua direnacakan pada bulan September, dimana upah minum di Venezuela menjadi 2,047.52 bolivares ($476). Dengan demikian, kenaikan upah minum Venezuela menjadi 32,25%.

Dengan kenaikan upah ini, maka Venezuela menjadi negara dengan upah minimum tertinggi di Amerika Latin. Ditambahkan bantuan pemerintah berupa voucher makan, dan manfaat lain yang diterima rakyat dari kebijakan sosial pemerintah, maka total upah yang diterima pekerja Venezuela perbulan mencapai 700 dollar AS.

Untuk membayar kenaikan upah ini, kata Chavez, pemerintah Venezuela membutuhkan anggaran sebesar 20.050.678 bolivar, atau setara dengan 4 milyar dollar. Dan, semua anggaran itu rencananya didapatkan dari pendapatan minyak dan pajak.

“Kebijakan yang menguntungkan kaum buruh adalah bagian dari kebijakan redistribusi pendapatan nasional, guna mencapai kesetaraan secara subtantif,” kata Hugo Chavez.

Selama tahun 80-an dan 90-an, kenaikan upah minimum di Venezuela dibekukan oleh pemerintah sayap kanan. Akibatnya, inflasi melonjak di atas 100% pertahun.

“Di tahun 1999, ketika kami berkuasa, 65% dari mereka yang bekerja di sektor formal mendapat upah minimum. Sementara pada tahun 2010, 21% pekerja mendapat upah minimum. Angka ini sangat signifikan untuk mengukur evolusi revolusi,” kata Chavez.

Belum lagi, Venezuela telah memperluas pemberian uang pensiun kepada mereka yang diluar sektor publik, yakni kepada lansia, pahlawan olahraga, petani, dan nelayan. Belum lagi sejumlah misi sosial yang diberikan langsung kepada rakyat.

“Setiap tahun, tanpa gagal, revolusi selalu menaikkan upah minimum, sebagai cara membangun keadilan sosial yang solid. Inilah mengapa Venezuela menjadi salah satu negara dengan tingkat ketidaksetaraan paling kecil di seluruh dunia,” kata Chavez.

Setiap tahun, pemerintahan sosialis Venezuela selalu menaikkan upah minimum. Rata-rata kenaikannya pun tidak kecil: rata-rata di atas 20%. Pada tahun 2011, misalnya, Venezuela juga menaikkan upah minimum sebesar 26,5%.

Jika diperbandingkan antara upah buruh di Indonesia dengan di Venezuela, maka tentu upah buruh Indonesia tertinggal jauh dari upah kaum buruh di Venezuela. Jika dirupiahkan, upah minimum pekerja di Venezuela berkisar Rp.4.200.000. Angka ini hampir tiga kali dari upah minimum buruh di Jakarta.

Belum lagi, jika ditambah dengan voucher makanan dan insentif lain, maka total upah buruh di Venezuela mencapai Rp6.300.000. Itu berarti lebih dari empat kali lipat upah buruh di Jakarta.

Untuk diketahui, harga bahan makanan di Venezuela juga murah. Pemerintah memberlakukan UU harga adil untuk mengatur harga barang agar tetap dijangkau rakyat. Venezuela juga mendirikan toko-toko sembako murah yang disubsidi pemerintah di seantero negeri.

Ini patut jadi contoh bagi Indonesia. Di Venezuela, rakyat tidak harus menggelar demonstrasi untuk kenaikan upah. Tetapi, pemerintahan yang berhaluan kiri-sosialis ini lansung yang menaikkan upah. Kenapa demikian? Karena pemerintahan di Venezuela adalah pemerintahan kerakyatan.

RAYMOND SAMUEL

Kembali kepada UUD 1945 yang asli

UUD 1945 termasuk salah satu konstitusi progressif di dunia. Di dalamnya terdapat semangat anti-kolonialisme dan pro-kesejahteraan sosial. Pasca reformasi, seiring dengan menguatnya angin liberalisme, UUD 1945 mengalami empat kali amandemen. Banyak yang berubah: UUD 1945 tidak asli lagi…

Satu hal yang patut dicatat dari amandemen itu: yang terjadi bukan proses melengkapi UUD 1945 itu agar senafas dengan kemajuan jaman, tetapi justru upaya mengotak-atik isinya dan membuang segala fondasinya yang berbau anti-kolonialisme dan pro kesejahteraan rakyat.

Hasilnya pun gampang ditebak. Sejak amandemen, kita menemui kembali bentuk-bentuk kolonialisme lama, yang dulu diperangi founding father kita, dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi, politik, dan budaya.

Pengaturan ekonomi oleh negara dihilangkan: liberalisasi perdagangan, deregulasi, dan privatisasi. Model pengelolaan kekayaan alam dan sumber daya nasional pun berorientasi keluar (asing). Tujuan kegiatan ekonomi adalah keuntungan bagi usaha perseorangan, bukan lagi kemakmuran rakyat. Kita bukan lagi warga negara, tetapi sudah menjadi warga pasar.

Dalam politik juga terjadi demikian. Sistim pemerintahan kita menjadi penyokong kuat otonomisme yang hanya membesarkan raja-raja kecil di daerah dan mempermudah penetrasi modal asing di seluruh pelosok negeri. Parlemen kita hanya menampung pemburu kekuasaan dan pencari popularitas. Politik kita sekarang ini mirip dengan politik kolonial: politik yang mengabdi kepada kepentingan segelintir elit dan mengabaikan mayoritas rakyat.

Kehancuran budaya jauh lebih parah lagi. Semangat kolektivisme, yang menjadi ciri bangsa kita sejak dulu, telah hancur digerus oleh konsumerisme dan semangat mementingan diri sendiri. Kecintaan kepada negeri dan rakyat sudah berganti menjadi pemujaan terhadap komoditas.

Amandemen UUD 1945 salah kaprah. Alih-alih mengikut semangat reformasi, amandemen justru menjadi “kuda tunggangan” agenda neo-kolonialisme. Yang dituntut reformasi adalah adendum, yaitu penambahan klausul tanpa mengubah naskah aslinya, tetapi yang dijalankan oleh kaum reformis—yang dibelakangnya adalah lembaga-lembaga asing—mengubah substansi UUD 1945. Yang bermasalah kan cuma soal masa jabatan Presiden, tetapi kenapa Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan diobrak-abrik juga.

Sebagai respon atas berbagai problematika bangsa itu, muncullah keinginan untuk kembali kepada semangat UUD 1945 yang asli. Akan tetapi, sebagian orang picik—khususnya klas menengah dan intelektual salon—berteriak “hati-hati dengan orde baru dan tentara!” Seolah-olah, di mata mereka itu, kembali ke UUD 1945 adalah proyek restorasi orde baru.

Ah, orang-orang ini tidak tahu sejarah. Orde baru tidak pernah melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Apa yang terjadi selama 32 tahun orde baru adalah pengebirian terhadap UUD 1945: kolonialisme direstorasi sejak 1967, demokrasi dan hak-hak berpendapat diinjak-injak, dan mayoritas rakyat telah dikeluarkan dari agenda pembangunan orba itu.

UUD 1945 dilahirkan oleh Revolusi Agustus 1945. Karena itu, jiwa dan semangat UUD 1945 adalah jiwa dan semangatnya Revolusi Agustus. “UUD 1945 adalah jiwa daripada revolusi 1945. UUD 1945 adalah anak kandung atau saudara kembar dari Proklamasi 17 Agustus 1945,” kata Soekarno, bapak pendiri bangsa kita.

Dengan demikian, upaya kembali ke UUD 1945 adalah bermakna kembali kepada semangat dan jiwa Revolusi Agustus. Ibarat orang yang sudah kesasar di tengah belantara, dengan bahaya sudah mengancam di hadapannya, maka tak ada pilihan selain bergegas mencari jalan pulang. Setelah itu, barulah kita berjalan kembali dengan penuh kehati-kehatian.

Hampir semua pergulatan gagasan dan cita-cita perjuangan bangsa kita terangkum dalam semangat Revolusi Agustus. Dan UUD 1945, yang dilahirkan sehari setelah proklamasi kemerdekaan, merupakan peta yang seharusnya menjaga kita dalam perjalanan panjang mengarungi cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.

Kini, peta itu sudah dimanipulasi kolonialis dan kaum liberal. Petunjuk jalan yang mesti kita lalui sudah dikaburkan. Di tengah kebingungan dan keputus-asaan melihat jalan mana menuju ke depan, para perampok datang silih-berganti merampasi barang-barang dan bekal kita. Itulah yang terjadi saat ini.

Kita harus kembali ke semangat UUD 1945 yang asli: anti-kolonialisme. Sebagai langkah demokratis untuk ke sana, saya mengusulkan dilaksanakannya sebuah referendum. Referendum ini hanya membawa satu tugas pokok: menanyakan kepada rakyat apakah mereka setuju atau tidak untuk kembali ke UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.

SUNARIO, warga negara Republik Indonesia (RI) dan tinggal di lereng Gunung Wilis, Madiun, Jawa Timur.

Senin, 09 April 2012

Makna SOSIALISME

Sebelum membicarakan masalah Sosialisme Indonesia lebih jauh, baik kiranya disini terlebih dahulu dikemukakan sekedar tentang sejarah timbulnya Sosialisme.

Penggunaan istilah “Sosialisme” sebgai suatu aliran faham politik dan gerakan sosial mulai tejadi dalam gerakan sosial yang dipelopori oleh Robert Owen di Inggris dalam tahun-tahun 30-an abad ke-19. Akan tetapi, jiwanya istilah ini, yakni sebagai suatu cita-cita atau angan-angan akan suatu masyarakat yang adil dan makmur, dimana tiada perbedaan antara kaya dan miskin, tiada penindasan dan penghisapan atas manusia oleh manusia, jauh sebelum Robert Owen, dan boleh dikatakan sejak terpecahnya masyarakat dalam klas-klas yang saling berlawanan, sudah terdapat dimana-mana, termasuk juga di Indonesia.

Di Eropa, misalnya, pada zaman Yunani Kuno, kita mengenal adanya “masyarakat ideal” yang diidam-idamkan oleh Plato (427-347 Sebelum Masehi). Menurut cita-cita Plato, masyarakat yang sempurna itu berbentuk negara Republik dengan kaum ksatria sebagai tulangpunggungnya. Kehidupan kaum ksatria itu merupakan teladan bagi seluruh masyarakat. Mereka hidup secara kolektif di dalam asrama-asrama yang disediakan oleh negara. Mereka tidak mempunyai hak milik perseorangan atas apapun juga. Segala kebutuhan hidupnya dijamin oleh negara, bahkan negara menyediakan wanita-wanita pilihan untuk dijadikan isteri mereka. Anak-anak mereka sejak lahir sudah dipisahkan dari orangtuanya dan dipelihara serta dididik oleh negara dalam tempat-tempat yang disediakan khusus untuknya. Kaum ibunya hanya diperkenankan datang ke tempat-tempat itu pada waktu-waktu yang sudah ditentukan untuk menyusui anak-anak yang ada disitu tanpa mengenali anaknya sendiri atau bukan. Apabila anak-anak itu sudah cukup besar, maka diajarkannya berbagai macam ilmu pengetahuan, diberikannya pendidikan jasmaniah dan rohaniah sampai dewasa sehingga menjadi manusia-manusia ksatria yang sempurna. Setelah itu mereka diberi tugas-tugas negara. Kepala negara dipilih diantara kaum ksatria itu. Demikianlah garis besar “masyarakat ideal” yang diimpikan oleh Plato pada waktu itu.

Sudah tentu “masyarakat ideal” Plato yang sedemikan itu dibangunkan berdasarkan filsafatnya yang berpendapat bahwa masyarakat itu baru bisa sempurna kalau orang-orangnya sempurna, dan orang-orangnya itu baru bisa menjadi sempurna kalau berpengetahuan dan berpendidikan baik. Akan tetapi, lahirnya angan-angan itu, bagaimanapun juga isinya, merupakan suatu pencerminan (refleksi) daripada keadaan sosial pada ketika itu. Sebagaimana kita ketahui, pada ketika itu masyarakat perbudakan di Atena sedang mulai mengalami dekadensinya, konflik-konflik sosial sudah nampak makin menajam, ketidakadilan dan keburukan sosial sudah menonjol, sementara itu juga sedang menghadapi ancaman-ancaman serangan dari negeri-negeri tetangganya, terutama Sparta yang sedang tumbuh kuat. Dalam menghadapi keadaan sosial yang suram itulah timbul kerinduan pada Plato akan suatu “masyarakat bangsawan” atau negara “Republik Ksatria” sebagai suatu konsep jalan-keluarnya. Akan tetapi, ide Plato itu agaknya terlampau ekstrim sehingga tak mendapat sambutan baik dari masyarakat, maupun dari murid-muridnya atau pengikut-pengikutnya yang tidak sedikit jumlahnya.

Pada masa sejarah yang lain, kita mengenal juga, misalnya, “masyarakat utopi” dari Sir Thomas More (1478-1535), seorang politikus dan sastrawan besar Inggris pada awal abad ke-16. Dalam karyanya Utopia, More disatu pihak melukiskan keadaan masyarakat yang sangat menyedihkan dibawah rezim Henry VIII, dimana Rakyat jelata menderita kesengsaraan yang sangat besar sebagai akibat dari kesewenangan dan kekejaman yang melampaui batas-batas kemanusiaan dari kaum ningrat dan kaum Gereja. Dipihak lain ia melukiskan keadaan masyarakat di pulau Utopia sebagai kontrasnya atau tandingannya. Di dalam masyarakat Utopi itu tiada sistim hak milik perseorangan atas alat-alat produksi: produksi masyarakat diatur dan dilakukan secara gotong-royong, dan hasil-hasilnya dibagi secara merata pula diantara anggota-anggota masyarakat sehingga dengan demikian lenyaplah perbedaan antara kaya dan miskin. Semua orang harus bekerja di lapangan produksi, baik pertanian maupun kerajinan-tangan sehingga tiada lagi perbedaan antara kota dan desa. Waktu kerja dikurangi menjadi 6 jam sehari, sedang sisa waktu luangnya digunakan sepenuhnya untuk aktivitas dilapangan keseniab, kesusasteraan dan ilmu. Lembaga-lembaga masyarakat dibentuk secara demokratis melalui pemilihan umum sehingga tiada lagi kediktatoran raja-raja, tiada lagi undang-undang dan peraturan-peraturan yang bengis dan mengekang kebebasan individu, semua anggota masyarakat mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat. Kejujuran dan kesederhanaan, persaudaraan dan kegotong-royongan menjadi ciri moral masyarakat. Sistim dan perlengkapan kemiliteran hanya ditujukan untuk membela diri, tidak untuk melakukan agresi terhadap negeri lainnya.

Masyarakat Utopi yang digambarkan oleh More itu justru adalah suatu refleksi dari keadaan sosial di Inggris pada zaman itu, dimana sedang berlangsung proses akumulasi primitif kapital. Beribu-ribu kaum tani diusir dari tanah garapannya dengan segala kekerasan dan kekejaman, dan diubahnya tanah-tanah ladang itu menjadi padang-padang penggembalaan domba-domba untuk memenuhi kebutuhan manufaktur-manufaktur tekstil akan bahan wol, sehingga More melukiskan keadaan pada ketika itu adalah zaman “domba makan orang”. Pertumbuhan cara produksi kapitalis yang menimbulkan ketidakadilan, kesengsaraan, keburukan sosial yang sangat menyolok mata dan menyakiti perasaan kemanusiaan itu telah membikin More takut melihat kedepan sehingga “masyarakat adil dan makmur” yang dicita-citakannya itu nampak jelas tidak menghendaki perkembangan industri lebih lanjut, melainkan mempertahankan pertanian dan kerajinan-tangan sebagai dasar produksi masyarakat, dan menganjurkan kesederhanaan atau pembatasan dalam kenikmatan kekayaan materil, tapi mengejar kenikmatan kekayaan spirituil, terutama di lapangan kesenian, yang dianggapnya sebagai kesenangan dan kebahagiaan hidup yang paling tinggi.

Hampir seabad kemudian, kita mengenal pula misalnya, adanya suatu cita-cita masyarakat “adil dan makmur” yang diidam-idamkan oleh seorang filosuf Italia, Tomaso Campanella (1568-1639), dalam karyanya yang termashur Kota Surya. Campanella semula adalah seorang paderi, tetapi kenyataan sosial yang pahit membikin ia kemudian menentang kekuasaan agam di negerinya. Pada ketika itu Italia dijajah oleh Spanyol, dengan menggunakan agama sebagai alat penindasannya yang efektif. Disamping mengemukakan filsafatnya dengan karyanya Philosophia Sensibus Demonstrata menentang filsafat skolastik yang berkuasa pada ketika itu, Campanella juga memimpin gerakan dibawah tanah untuk membebaskan tanah airnya dari penjajahan kerajaan Spanyol. Hal ini mengakibatkan ia kemudian tertangkap dan ditahan didalam penjara selama 27 tahun. Kota Surya adalah sebuah ciptaannya selama dalam tahanan itu. Dalam karyanya itu, Campanella disamping mencela hak milik perseorangan yang merupakan sumber dari segala kejahatan dan keburukan sosial, juga berpendapat bahwa kerja adalah kewajiban yang terhormat dan mutlak bagi setiap orang. Campanella menggambarkan Rakyat Kota Surya itu hidup dalam keadaan serba “samarata-samarasa” dalam makna bahwa tiada perbedaan dalam soal tempat tinggal, makan, pakaian, dsb. diantara anggota-anggota masyarakat. Dalam fantasi Campanella itu terdapat pikiran-pikiran yang maju, misalnya ia mengemukakan bahwa di dalam masyarakat yang tiada sistim hak milik perseorangan, yang tiada penindasan dan penghisapan serta ketidakadilan, maka kesenian, teknik dan ilmu pengetahuan barulah bisa berkembang maju, dan ini merupakan syarat mutlak bagi kemakmuran dan kebahagiaan masyarakat. Maka ia menggambarkan bahwa Rakyat Kota Surya itu hanya bekerja 4 jam sehari dengan menggunakan teknik yang tinggi untuk meringankan kerjanya dan menciptakan kehidupan yang makmur.

Cita-cita atau angan-angan akan suatu masyarakat “adil dan makmur” seperti berbagai contoh diatas, adalah sebagai refleksi dari keadaan sosial pada zamannya masing-masing, dan menunjukkan daya-bayang yang luar biasa akan arah perkembangan masyarakat dimasa depan. Akan tetapi karena semuanya itu bertolak dari keinginan subjektif semata-mata, sedangkan syarat-syarat sejarah yang ada padanya masih belum memungkinkan terjadinya hal tersebut, maka belum dapat menimbulkan suatu gerakan sosial sebagai kekuatan materiil untuk merealisasi cita-cita masyarakat itu. Sekalipun demikian, fikiran-fikiran yang terkandung didalam cita-cita itu, misalnya tentang penghapusan hak milik perseorangan atas alat-alat produksi, tentang pengusahaan produksi dan distribusi kekayaan masyarakat secara adil dan merata, tentang kerja dsb. mempunyai arti yang besar bagi lehiran Sosialisme ilmiah dikemudian hari. (DN Aidit)

Sumber: Buku Sosialisme Indonesia Dan Syarat-Syarat Pelaksanaannya.

Senin, 27 Februari 2012

Derita Surani

Beras.Sejak dihentikanya program SKTM pada 5 September 2011 oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Kendal semakin menelantarkan rakyat miskin, Salah satunya Nasib warga miskin yang di alami Surani (31)yang hidup dirumah yang masih berlantaikan tanah, berpagar papan murah dan kondisinya mau roboh ini tergolek sakit dan tidak bisa melakukan aktifitas apa-apa kecuali makan dan minum, badanya panas dan terasa sakit
ketika tersentuh seseorang, Kebutuhan makan sehari-harinya mengandalkan istri yang mencari bahan-bahan makanan di hutan/ tegalan, Mbak Gayatri (24) dan anaknya Fajar Mustafa (6) dan Dwi Yuli Irwansah (2)yang bertempat tinggal satu rumah dengan orangtua Surani di Dusun Rejosari Desa Magelung Rt.002 Rw.001 Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal.

Surani mengalami penyakit ini sejak enam bulan Tahun 2011, Karena tidak mempunyai akses kesehatan Jamkesmas, Jamkesda maka keluarga karena tidak mengetahui informasi maka berusaha menjual tanah warisan yang dijadikan tulang puggung untuk digarap demi kebutuhan sehari-hari dan berusaha berobat kerumah sakit Tugurejo, RSUD SOewondo Kendal, RSUD Kariadi Semarang dan Permata Medika dengan mengunakan umum, Sekarang semuanya telah habis dan Gayatri atas pemberitahuan tetangga mencoba beberapa kali meminta surat miskin dari Desa akan tetapi sama sekali tidak dilayani dengan alasan tidak masuk sebagai kouta, menaggis bahkan menyembah dihadapan perangkat desapun tidak membuat dibuatkanya surat miskin, untuk itu dia putus asa dan hany merawat suaminya tergeletak dirumah yang tidak layak itu.

SRMI saat melakukan diskusi diKampung Mugas Magelung materi-materi yang disampaikan telah didengar oleh tetangga dan setelah diskusi kami selesai ada dua orag ibu-ibu yang langsung menanyakan benarkan ada program kesehatan yang tadi telah disampaikan dalam diskusi itu? tanyanya. Cerita terus dilakukan oleh kedua ibu tadi dan kemudian mengajak SRMI untuk meneggok Surani untuk diperjuangkan nasibnya.

SRMI sanggat kaget dan sedih karena pada jaman yang modern ini, jaman SBY masih saja ada warga miskin yang tidak pernah dengar bahwa kesehatan itu bisa gratis? kami memberitahukan langsung kepada keluarga Surani nahwa beliau sekeluarga, termasuk kesehatan, sandang, pangannya adalah tanggung jawab negara yang dijamin oleh undang-undang 1945 Pasal 28h, 34 (2).

Surani adalah potret kecil perilaku diskriminatif aparat Desa untuk mensosialisasikan akses kesehatan di tingakatan desa, Surani adalah korban yang ke beberapa kali akan dihapuskanya SKTM.

Achmad Misrin.
08170565509

Jumat, 24 Februari 2012

Partai Nasional Indonesia (PNI - Marhenisme)

Partai Nasional Indonesia (1)
Kami punya asas tentang “Kemerdekaan Indonesia”
Tempat yang harus dilalui? Manakah tempat-tempat yang harus dilalui? Partai Nasional Indonesia dengan sepenuh-penuhnya keyakinan menjawab: tempat-tempat yang berjajar-berjajar menuju ke arah Indonesia Merdeka! Sebab dibelakang Indonesia Merdeka itulah tampak kepada mata PNI keindahan Samudra Keselamatan dan samudra kebesaran itu, di belakang Indonesia Merdeka itulah tampak kepada mata PNI sinar hari kemudian yang melambai-lambai!
Inilah pokok keyakinan PNI, sebagai yang tertulis di dalam buku keterangan asasnya: “Partai Nasional Indonesia berkeyakinan, bahwa syarat yang amat penting untuk pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia itu, ialah kemerdekaan nasional. Oleh karena itu, maka semua bangsa Indonesia terutama haruslah ditujukan ke arah kemerdekaan nasional itu.”
Dengan bahasa Belanda: de nationale vrijhed als zeer belangrijke voorwaarde tot de nationale reconstructie!
Berlainan dengan banyak partai-partai politik lain, yang mengatakan “perbaikilah dulu rumah tangga, nanti kemerdekaan datang sendiri”;– berlainan dengan partai-partai lain, yang menganggap kemerdekaan itu sebagai buahnya pembaikan rumah tangga, — maka PNI berkata: “Kemerdekaan nasional usahakanlah, sebab dengan
kemerdekaan nasional itulah rakyat akan bisa memperbaiki rumah tangganya dengan tidak terganggu,yakni dengan sesempurna-sempurnanya”, –PNI berkata, “De-volkomen nationale reconstructie allen mogelijk na wederkomst der nationale onafhankelijkkheid”.
Tuan-tuan Hakim, sepanjang keyakinan kami, asas PNI yang demikian ini dalam hakikatnya tidak beda dengan asas perjuangan kaum buruh di Eropa dan Amerika, tidak beda dengan asas yang mengatakan bahwa untuk melaksanakan sosialisme, kaum buruh itu harus lebih dulu mencapai kekuasaan pem erintahan.
“Kaum proletar hanya bisa mematahkan perlawanan kaum modal terhadap usaha membikin alat-alat perusahaan partikelir menjadi milik umum, dengan mengambil kekuasaan politik. Untuk maksud ini, kaum buruh seluruh dunia, yang telah menjadi insaf akan kewajibannya dalam perjuangan kelas, menyusun diri,”
begitulah bunyi paragraf 11 dari keterangan asas Sociaal Democratische Arbeiders Partij. [1]
Nah, buat suatu rakyat jajahan, buat suatu rakyat yang di bawah imperialisme bangsa lain, hakikat perkara sepanjang keyakinan kami, tidaklah lain. Baut suatu rakyat yang dibencanai oleh imperialisme, buat usaha rakyat itu melawan bencana imperialisme itu, perlu sekali pula “kekuasaan politik” dicapainya. Buat rakyat yang demikian itu, kalimat tadi mendapat variasi:
“Rakyat yang dijajah hanya bisa mematahkan perlawanan kaum imperialisme terhadap pekerjaan memperbaiki kembali semua susunan pergaulan hidup nasionalnya, dengan mengambil kekuasaan pemerintahan, yakni dengan mengambil kekuasaan politik.”
Dan apakah artinya “kekuasaan politik” bagi suatu rakyat jajahan? Apakah artinya “kekuasaan pemerintahan”, apakah artinya “mengambil kekuasaan pemerintahan” bagi suatu rakyat jajahan? Mencapai Kekuasaan politik bagi suatu rakyat jajahan adalah berarti mencapai pemerintahan nasional, mencapai kemerdekaan nasional, — mencapai hak untuk mengadakan undang-undang sendiri, mengadakan aturan-aturan sendiri, mengadakan pemerintahan sendiri!
Nah, Partai Nasional Indonesia ingin melihat rakyat Indonesia bisa mencapai kekuasaan politik itu, Partai Nasional Indonesia tidak tedeng aling-aling mengambil kemerdekaan nasional itu sebagai maksudnya yang tertentu. Partai Nasional Indonesia mengerti, — atau lebih benar: kami mengerti, –bahwa mengejar kekuasaan politik, jadi, mengejar kemerdekaan nasional itu, adalah konsekuensi dan voorwaarde,[2] buntut dan syarat, bagi suatu perjuangan kontra imperialisme itu adanya.
Sebagai di negeri barat kaum kapitalis mengusahakan kekuasaan politiknya mempengaruhi rumah tangga negara menurut mereka punya kepentingan, sebagaimana kaum kapitalis itu mengusahakan kekuasaan politiknya untuk mengadakan aturan-aturan rumah tangga negara yang menguntungkan mereka punya kepentingan dan meniadakan aturan-aturan yang merugikan mereka punya kepentingan,–sebagaimana kaum kapitalis itu mengusahakan mereka punya kekuasaan politik untuk menjaga dan memelihara kapitalisme–, maka di suatu negeri jajahan, kaum imperialisme mengusahakan kekuasaan politiknya pula untuk mempengaruhi rumah tangga negara menurut mereka punya kepentingan, yakni menurut kepentingan sistem imperialisme! Olah karena pengaruh itu, maka hampir tiap aturan yang penting di dalam suatu negeri jajahan bersifat menguntungkan kepentingan kaum imperialisme itu, sesuai dengan kepentingan kaum imperialisme itu. Hampir tiap-tiap aturan yang penting di dalam suatu negeri jajahan adalah bersifat untuk penjajahan itu, untuk imperialisme itu.
Oleh sebab itu, maka, selama suatu negeri masih bersifat jajahan, ya, lebih jauh lagi: selama suatu negeri masih bersifat “protektorat” ataupun “daerah mandat”, — pendek kata selama suatu negeri masih belum sama sekali leluasa mengadakan aturan-aturan rumah tangga sendiri, — maka sebagian atau semua aturan-aturan rumah tangganya, mempunyai “cap” yang imperialistis adanya. Artinya: selama rakyat belum mencapai kekuasaan politik atas negeri sendiri, maka sebagian atau semua syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi maupun sosial maupun politik, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingannya, bahkan bertentangan dengan kepentingannya. Ia adalah seolah-olah terikat kaki dan tangannya, tak bisa leluasa berjuang melawan daya-daya imperialisme yang membencanainya, tak bisa leluasa berjuang mengalang-alangi syarat-syarat hidupnya diperuntukkan bagi kepentingan pihak lain, tak bisa leluasa berusaha memperuntukkan syarat-syarat hidupnya itu bagi perikehidupan ekonominya sendiri, perikehidupan kebudayaannya. Ia pendek kata, tak bisa leluasa berusaha melawan dan memberhentikan imperialisme, tak bisa pula leluasa menyubur-nyuburkan badan sendiri[3]
Rakyat jajahan adalah rakyat yang tak bisa “menemukan diri sendiri”, suatu rakyat yang tak bisa “zichzelf” (berpribadi sendiri), suatu rakyat yang hampir semua apa-apanya kena “cap” yang imperialistis itu, — “cap” yang terjadinya ialah oleh pengaruh besar dari kaum imperialisme adanya. Tidak ada persamaan kepentingan antara kaum imperialisme dan kaum yang di bawah imperialisme; tidak ada belangengetneenschap[4] antara kedua pihak itu. Antara kedua pihak itu ada pertentangan kepentingan, ada pertentangan kebutuhan, — ada tegenstelling van belangen[5] ada conflict van behoeften.[6] Semua kepentingan kaum imperialisme, baik ekonomi, maupun sosial, baik politik maupun yang berhubungan dengan kebudayaan umumnya, semua kepentingan kaum imperialisme itu, adalah bertentangan, tegengesteld dengan kepentingan Bumiputra. Kaum imperialisme sebisa-bisanya mau meneruskan adanya penjajahan, — orang Bumiputra sebisa-bisanya mau memberhentikan penjajahan itu. Aturan-aturan yang diadakan di bawah pengaruh kaum imperialisme, adalah karena itu bertentangan dengan kepentingan Bumiputra itu adanya.
Meskipun demikian, Bumiputra menerima saja aturan-aturan itu? Meskipun demikian Bumiputra menghormati aturan-aturan itu? O, memang, Bumiputra menerima saja aturan-aturan itu, Bumiputra menghormati aturan-aturan itu. Tetapi mereka menerimanya dan menghormatinya itu, ialah hanya oleh karena Bumiputra kalah, hanya oleh karena Bumiputra terpaksa menerimanya dan terpaksa menghormatinya!
Bukankah justru kekalahan ini sebabnya maka mereka dijajah?
Bukankah justru kekalahan yang memaksa mereka menjadi rakyat, jajahan? Jules Harmand, Ambassadeur Honoraire dan ahli jajahan bangsa Prancis, dalam bukunya yag termashur “Domination et Colonisation”, menulis dengan terang-terangan:
“Tentu saja bisa kejadian, bahwa kepentingan orang Bumiputra kebetulan sama dengan kepentingan si penjajah; tapi ini jarang sekali kejadian. Biasanya….kepentingan-kepentingan itu bertentangan satu sama lain.” “Kedua pikiran “penjajahan” dan “kekerasan” atau sekurang-kurangnya “paksaan”, adalah bergandengan satu sama lain, atau isi-mengisi. Tergantung kepada tempat, keadaan dan tingkah laku, kekerasan itu boleh nyata atau kurang nyata, atau sedang saja, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, —tapi penggunaannya tidak pernah bisa dihilangkan. Pada hari paksaan hilang, berakhirlah pula penjajahan.”[7]
Adakah pengakuan yang lebih terang-terangan, adakah ketulusan hati yang lebih tulus? Sesungguhnya kita tidaklah berdiri sendiri, kalau kita mengatakan bahwa oleh adanya pertentangan kepentingan itu, tiap-tiap sistem atau aturan jajahan, adanya diterima dan dihormati rakyat jajahan itu, hanya karena mereka terpaksa menerima dan terpaksa menghormatinya belaka,–terpaksa, yakni tidak dengan senang hati, tidak dengan rela hati, tidak dengan kemufakatan yang sebenar-benanrnya, tidak dengan persetujuan yang sepenuh-penuhnya!
________________________________________
[1] Paragraf 11 itu adalah leidsch program (program dasar) dari Sociaal Democratische Arbeiders Partij.
[2] Voorwaarde= syarat
[3] Menurut keyakinan kami, hilangnya pemerintahan asing dan Indonesia, belum tentu juga dibarengi oleh hilangnya imperialisme asing sama sekali. Imperialisme yang “overheersen (memerintah) hilang, tetapi imperialisme yang beheersen (menguasai), lenyapnya baru kemudian. (lihat Tiongkok).
[4] Belangengetneenschap= persamaan kepentingan.
[5] tegenstelling van belangen=pertentangan kepentingan
[6] conflict van Behoeften= pertentangan kebutuhan.
[7] Jules Harmand, duta besar kehormatan dan ahli jajahan bangsa Prancis dalam bukunya yang termashur “Domination et Colonisation” hal. 122, (terbitan E. Flammarion, Paris 1910).

Partai Nasional Indonesia (2)
Tiap-tiap rakyat jajahan ingin merdeka
Oleh karena itulah, Tuan-tuan Hakim, maka tidka ada satu rakyat negeri jajahan yang tindak ingin merdeka, tidak ada satu rakyat jajahan yang tak mengharap-harapkan datangnya hari kebebasan. Jikalau Partai Nasional Indonesia mendengung-dengungkan semboyan “mencapai kekuasaan politik” itu, jikalau Partai Nasional Indonesia mengobar-ngobarkan semangat ingin merdeka itu, maka ia hanyalah mengemukakan cita-cita umum belaka. Kemerdekaan adalah syarat yang amat penting baginya untuk bisa melawan dan memberhentikan imperialisme itu dengan seluas-luasnya. Kemerdekaan adalah pula syarat yang amat penting bagi pembaikan kembali segala susunan pergaulan hidup suatu negeri bekas jajahan, suatu syarat yang amat penting bagi rekonstruksi nasionalnya.
Ya, kemerdekaan adalah syarat yang amat penting bagi kesempurnaan rumah tangga tiap-tiap negeri, tiap-tiap bangsa, baik bangsa timur maupun bangsa Barat, baik bangsa kulit berwarna maupun bangsa kulit putih. Tiada satu bangsa bisa mencapai kebesaran zonder kemerdekaan nasional, tidak ada satu negeri bisa menjadi teguh dan kuasa, umpama ia tidak merdeka. Sebaliknya, tiada satu negeri jajahan yang bisa mencapai keluhuran, tiada satu negeri jajahan yang bisa mencapai kebesaran itu. Oleh karena itu, maka tiap-tiap bangsa jajahan ingin akan kemerdekaan itu, ingin supaya bisa mencapai kebesaran itu.
Tiap-tiap rakyat yang tak merdeka, tiap-tiap rakyat yang karena itu, tak bisa dan tak boleh mengatur rumah tangga sendiri secara kepentingan dan kebahagiaan sendiri, adalah hidup di dalam suasana yang rusuh, yakni hidup di dalam suasana yang kami sebutkan tadi, hidup di dalam suatu “permanente onrust”, kerusuhan yang terus-menerus, yang tersebabkan oleh tabrakan daya-daya yang saling bertentangan itu, — suatu keadaan yang tidak boleh tidak menimbulkan pula keinginan keras akan hilangnya pertentangan-pertentangan itu, yakni keinginan keras akan berhentinya ketidak-merdekaan itu tadi. Dari Maroko sampai Filipina, dari Korea sampai Indonesia melancar-lancar kemana-mana melalui gunung dan samudra, terdengarlah suara yang memanggil-manggil kemerdekaan itu,– bukan saja dari mulut rakyat-rakyat yang baru saja merasakan pengaruh imperialisme, tetapi juga, ya, malahan terutama, dari mulut bangsa-bangsa yang sudah berabad-abad tak menerima cahaya matahari kebesaaran.
“Sekalipun sudah berabad-abad mereka menjajah……begitulah Jules Harmand menulis lagi:
“Sekalipun sudah berabad-abad mereka menjajah….., adalah suatu kebodohan apabila si penjajah itu sudah menyangka bahwa ia dicintai, — butalah ia apabila menyangka bahwa masyarakat yang dijajah itu merasa senang mengalami penjajahannya”…..”Bagaimanapun juga lemahnya atau merosotnya, bagaimanapun juga biadabnya disangka orang bangsa yang terjajah itu, — bagaimanapun juga jahatnya kaum ningratnya, atau sebaliknya, bagaimanapun juga beradabnya mereka itu dalam tingkah lakunya dan bagaimanapun juga tajam otaknya dianggap orang……mereka itu akan memandang kepergian atau hilangnya penjajahan asing selalu sebagai suatu pembebasan”. [1]
Mengertikah orang sekarang, apa sebabnya Prabu Jayabaya yang menujumkan kemerdekaan itu, terus hidup saja berabad-abad dalam hati rakyat? Mengertikah orang sekarang, apa sebabnya di dalam tiap-tiap surat kabar Indonesia, di dalam tiap-tiap rapat bangsa Indonesia,– juga kalau kami yang disebut “penghasut” tidak menghadirinya! –, sebentar-sebentar terbaca atau terdengar perkataan “merdeka”? mengertikah orang sekarang, apa sebabnya sampai partai-partai politik yang paling sabar atau sedangpun, misalnya Budi Utomo dan Pasundan, yang toh terang sekali bukan perkumpulan kaum “penghasut”, juga sama mengambil cita-cita Indonesia Merdeka, sebagaimana disyaratkan bagi penerimaan menjadi anggota PPPKI?
Partai Nasional Indonesia hanyalah lebih terang mengemukakan cita-cita itu; Partai Nasional Indonesia hanyalah lebih tentu mengutamakan kemerdekaan nasional itu, menjunjung kemerdekaan nasional itu sebagai syarat yang amat penting bagi pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia yang sekarang kocar-kacir ini, dan bagi bisa berhasilnya perjuangan menghentikan imperialisme itu! Sebab, sebagai yang kami terangkan tadi, Partai Nasional Indonesia mengambil soal jajahan itu di dalam hakikat yang sedalam-dalamnya, mengambil soal jajahan itu terus ke dalam pokok-pokoknya, — mengambil soal jajahan itu di dalam filsafatnya yang sebenar-benarnya, yakni filsafat,– kami ulangi lagi–, bahwa di dalam tiap-tiap sistem jajahan adalah pertentangan kepentingan antara kaum imperialisme dan kaum Bumiputra; bahwa di dalam tiap-tiap sistem jajahan umumnya, keadaan-keadaan adalah dipengaruhi, di-“cap”-kan, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan imperialistis; — bahwa karena itu, di dalam sistem jajahan mana pun juga, kepentingan Bumiputra tak bisa terpelihara sesempurna-sempurnanya.
Dalil –dalil pemimpin-pemimpin negeri lain
Dan juga dalam keyakinan ini, Partai nasional Indonesia tidak berdiri sendiri. Juga di dalam keyakinan ini, Partai Nasional Indonesia mendapat pembenaran di dalam ujaran-ujaran pemimpin besar di negeri-negeri lain. Jikalau Mustafa kamil[2] dari Mesir menulis, bahwa “suatu bangsa yang tak merdeka sebenarnya adalah suatu bangsa yang tak hidup”, jikalau Manuel Quezon[3] dari Filipina berkata bahwa “lebih baik zonder Amerika ke neraka daripada dengan Amerika ke surga”, jikalau Patrick Hendry dari Amerika duluu berteriak: “Berikanlah padaku kemerdekaan, atau berikanlah padaku maut saja” – maka itu bukanlah jerit budi pekerti yang “panas” belaka, tetapi di dalam hakikatnya mereka tidak lain daripada mengutamakan kemerdekaan nasional itu. Jikalau kita membaca pemimpin Irlandia, Michael Davitt, menulis:
“Baik keselamatan, baik bujukan maupun undang-undang yang menguntungkan, tidak akan memuaskan bangsa Ir, jika kami tidak mendapat hak untuk memerintah negeri kami sendiri”,[4].
Ya, jikalau kita membaca bahwa seoarang pemimpin Irlandia lain Erskine Childers, menolak tingkat free-state dan menuntut kemerdekaan sepenuh-penuhnya dengan perkataan:
“Kemerdekaan bukanlah soal tawar-menawar, kemerdekaan adalah sebagai maut: dia ada atau dia tidak ada. Kalau orang menguranginya, maka itu bukan kemerdekaan lagi”,[5]
–tidakkah itu dalam hakikatnya suatu pembenaran pula dari kami punya pendirian itu? Tetapi, perhatikanlah perkataan-perkataan Jozef Mazzini, Bapak Rakyat Italia, yang lebih terang lagi:
“Membangunkan tanah air ini, malahan adalah suatu kemustian. Penguatan hati dan jalan-jalan yang saya bicarakan tadi itu, hanya bisa datang dari suatu tanah air yang bersatu padu dan merdeka. Keadaan masyarakat kamu hanya bisa menjadi baik, apabila kamu ikut serta dalam kehidupan politik bangsa-bangsa.” Janganlah tertipu oleh pikiran, bahwa keadaan kebendaanmu akan menjadi baik, dengan tidak menyelesaikan lebih dulu soal nasional; kamu tidak akan berhasil dalam hal itu.”[6]
dan perhatikanlah pula perkataan-perkataan Sister Nivedita, yang mengutamakan kemerdekaan nasional itu buat suburnya hidup kebatinan dan hidup kesenian, di dalam buku Okakura: “Die Ideale des Ostens”:
“Seni hanyalah bisa berkembang pada bangsa-bangsa yang hidup merdeka. Dia, sebenarnya adalah alat yang hebat dan buah Rasa-Suci dari kemerdekaan, yang kita sebut keinsafan kebangsaan”.[7]
Ini adalah ucapan-ucapan belaka. Prakteknya?
Marilah kita misalnya mendengarkan pidato Dr. Sun Yat Sen tentang San Min Chu I, di mana Bapak Rakyat Tiongkok ini, sudah menunjukkan bahwa Tiongkok sebenarnya tidak mempunyai kemerdekaan nasional yang sejati, melainkan malahan adalah suatu “hypo-colony”[8] menggambarkan terganggunya rumah tangga Tiongkok itu dengan kata-kata:
“Tatkala Tiongkok berdiri atas dasar politik yang sama dengan lain-lain bangsa, ia bisa bersaingan dengan merdeka di lapangan ekonomi dan sanggup dengan tidak membuat kesalahan mempertahankan dirinya sendiri. Tetapi baru saja bangsa-bangsa asing mempergunakan kekuasaan politik sebagai tameng bagi maksud-maksud ekonomi, maka tiongkok pun kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan diri atau bersaingan dengan mereka dengan berhasil.”[9]
Dan sekarang, sesudah kemerdekaan nasional negeri Tiongkok itu makin lama makin teguh, maka ahli pikir Inggris H.C. Wells, menulis:
“Pada zaman sekarang ini bisa jadi, bahwa lebih banyak tenaga otak yang baik dan lebih banyak orang yang sungguh hati bekerja untuk membikin modern dan menyusun kembali peradaban Tiongkok, daripada yang demikian itu kita jumpai di bawah pimpinan bangsa Eropa mana pun juga”.[10]
________________________________________
[1] Ibid hal 154
[2] Mustafa Kamil (1857-1908) seorang pemimpin nasionalis Mesir yang besar jasanya bagi perjuangan kemerdekaan.
[3] Manuel Quezon (1878-1944), salah seorang pejuang kemerdekaan Filipina, dan penulis buku “The Good Fight”.
[4] Michael daviit, seorang pemimpin Irlandia, dikutip dari buku Yann Morvran Goblet “L’Irlande dans la Crise Universalle” hal. 45 (terbitan F.Alcan, Paris 1918), hal.45.
[5] Erskine Childers, seorang pemimpin Irlandia lainnya, dikutip dari buku Simon Tery “En Irlande de la guerre” hal.101
[6] Guiseppe Mazani (1805-1872) pemimpin pemersatu Italia bersama Cavour dan Garibaldi. Buku yang dikutip “De Plichten Van den Mensch” hal. 171-179.
[7] Sister Nivedita, seorang penyair wanita Jepang. Ia menulis buku “Kaka-su Okakura” “Die Ideale des Osten” hal.8
[8] hypo-colony= negeri yang lebih jajahan dari jajahan.
[9] Sun Yat Sen (1866-1925) Bapak Kemerdekaan Tiongkok, pendiri Partai Kuo Min Tang dan pencetus “Trisila” (San Min Chu I) yang dibukukan dengan judul “San Min Chu I”. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
[10] H.G. Wells dalam bukunya “The Outline of History” hal. 464.

Partai Nasional Indonesia (3)
Dan prakteknya di Indonesia? Adakah prakteknya di sini membenarkan keyakinan PNI, bahwa negeri yang tak merdeka itu memang segala atau sebagian daripada aturan-aturan dan syarat-syarat hidupnya dipengaruhi, di-capkan, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan imperialistis, yang bertentangan dengan Bumiputra itu? Prakteknya di sini membenarkan dengan sepenuh-penuhnya! Kita lihat, bahwa untuk sempurnanya usaha imperialisme-perindustrian di sini, masyarakat kita diproletarkan, kita dijadikan “rakyat kaum buruh”; kita mengetahui, bahwa kaum imperialisme yang butuh akan tanah murah dan kaum buruh murah itu, sebagai diterangkan oleh Prof. Van Gelderen, mempunyai kepentingan di dalam rendahnya tenaga produksi kita punya pergaulan hidup, jadi, dengan sengaja pula merendahkan tenaga produksi itu dan melawan keras tiap-tiap usaha bangsa Bumiputra yang mau menaikkan tenaga produksi itu. Lihatlah,–jikalau kita mau memajukan perusahaan kita, kebun teh dan pabrik teh, jikalau kita mendirikan Bank Nasional[1] di Surabaya, jikalau kita mau mendirikan suatu maskapai perkapalan Indonesia, maka kaum imperialisme itu menjadi geger perkara “gerakan elit” itu, geger perkara niat pemerintah mau memberikan hak hubungan kredit pada Bank Nasional itu, geger memaki-maki di dalam pers dan di kalangan pelayaran atas maksud mendirikan maskapai perkapalan itu. Dan kita lihat kaum imperialisme itu, sebagai yang kami telah kemukakan di dalam pemeriksaan , menjalankan pengaruhnya, invioed-nya, ya tiraninya atas pemerintahan, sebagai yang dimarahkan oleh Prof. Snouck Hurgronje, dengan kata-kata:
“…..perlulah, bahwa kekuasaan yang tertinggi itu dihormati oleh mereka (oleh kaum majikan, Sk.), sama dihormati mereka seperti pangreh praja Bumiputra menghormatinya, yang menurut kata Colijn, senantiasa mengarahkan satu mata ke Bogor. Memang, dalam waktu yang akhir-akhir ini kebanyakan mereka mengarahkan kedua-dua matanya ke sana, akan tetapi bukan untuk menuruti petunjuk-petunjuk, tapi untuk mengemukakan mereka punya tuntutan-tuntutan, yakni supaya susunan dan kerjanya mesin pemerintahan sesuai dengan mereka punya kemauan. Ini juga suatu macam revolusi.”[2]
Kita lihat kaum imperialisme itu mempengaruhi pemerintah mengadakan politik tarip yang menguntungkan baginya, sebagai tertulis dala AID de Preangerbode beberapa bulan yang lalu di bawah kepala: “Vrijhandelbinnen het rijk is instrijd met het belong van Nederland en van Indie”; kita lihat bagaimana di sini ada suatu aturan pajak, yang sebagai ditunjukkan oleh komisi Meyer-Ranneft-Huender, enteng sekali bagi kaum Eropa dan berat sekali bagi kaum Indonesia; kita lihat bagaimana di sini ada bea karet, yang mengenai karet Bumiputra saja, sehingga suburnya mendapat rintangan besar; kita lihat bagaimana di sini ada itu aturan kuli kontrakan beserta poenale sanctienya, yang sama sekali hanya menguntungkan kaum modal belaka! Kita lihat adanya suatu undang-undang pelindung kaum buruh dan adanya pasal 161 bis Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang juga melulu berarti untungnya kaum kapital, celakanya kaum buruh; kita lihat adanya macam-macam aturan yang mengalangi pergerakan rakyat apa saja, yang memusuhi imperialisme itu; kita lihat suatu politik pengajaran yang membunuh rasa kebangsaan dan mendidik pemuda-pemuda kam menjadi pennelikkers[3] dan tidak menjadi manusia-manusia yang tabiat semangatnya merdeka; kita melihat suatu keadaan, sebagai De Stuw mengatakannya, bahwa rakyat
“makin lama makin jadi tergantung kepada pihak asing dan dengan demikian juga makin lama makin jauh dari cita-cita Hindia buat bangsa Hindia”;
Kita melihat……..tetapi cukup, Tuan-tuan hakim, cukup untuk membuktikan kebenaran keyakinan PNI itu! PNI memang adalah suatu partai yang tidak mau ngelamun, suatu partai yang tidak mau terapung-apung di atas awan angan-angan; PNI adalah suatu partai yang dengan kedua-dua kakinya berdiri di atas keadaan-keadaan yang sebenarnya, dengan kedua-dua kakinya berdiri di atas realiteit. Ia melihat, bahwa imperialisme adalah bertentangan keyakinan dengan kita, ia melihat bahwa kaum imperialisme itu mengusahakan kekuasaan politiknya untuk menjaga dan memelihara kepentingannya, — jadi, ia mengatakan bahwa kita barulah bisa melawan dan memberhentikan imperialisme itu seluas-luasnya, kalau kekuasaan politik itu sudah di dalam tangan kita, bahwa kita barulah bisa mengusahakan pembaikan kembali kita punya pergaulan hidup dengan sesempurna-sempurnanya, kalau kita sudah merdeka, — jadi, ia memujikan rakyat Indonesia mengejar kemerdekaan itu! “Terang benderang sebagai kaca”, — “zoo helder als glas”, begitulah orang Belanda berkata!
Percaya pada usaha sendiri
Dan mendatangkan Indonesia merdeka itu? Juga di dalam menjawab soal ini, maka PNI dengan kedua-dua kakinya berdiri di atas realiteit. Ia menjawab soal itu dengan yakin: “dengan usaha rakyat Indonesia sendiri!” la. tak mau mengikuti pengelamunan setengah orang yang mengira, bahwa adanya sistem imperialisme di sini itu ialah untuk mendidik kita dibikin “matang” atau “rijp” dan bahwa jikalau nanti kita sudah cukup “matang”, jikalau kita nanti sudah cukup “rijp”, sistem imperialisme itu lantas akan “berhenti sendiri”, — “memberikan” kemerdekaan kepada kita sebagai suatu “anugerah yang berharga”, sebagai suatu “kostbaar geschenk”!
Amboi, alangkah baiknya imperialisme kalau memang begitu; alangkah benarnya kalau begitu perkataan perjanjian Volkenbond pasal 22, bahwa politik jajahan itu ialah suatu “mission sacree”, suatu “misi yang suci” dari bangsa-bangsa kulit putih untuk bangsa-bangsa kulit berwarna!
Tidak, Tuan-tuan Hakim yang terhormat, pengelamunan yang demikian itu adalah pengelamunan yang kosong sama sekali! Pengelamunan yang demikian itu adalah pengelamunan yang sama sekali terapung-apung di atas awan, pengelamunan yang tidak berdiri di atas kenyataan sedikit jua pun adanya! Tidak, sistem imperialisme tidak akan mendidik kita menjadi “matang”; sistem imperialisme tidak akan membikin kita menjadi “rijp”; sistem imperialisme tidak akan meng-“anugerahi” kita dengan kemerdekaan, tetapi malahan sebaliknya akan bertambah-tambah mengokohkan penjajahan dengan pelbagai tali-tali wadag dan tali-tali yang halus. Sebab kenyataan yang sebenarnya ialah, bahwa imperialisme itu tidaklah buat “misi yang suci”, tidaklah buat sesuatu “mission sacree.” Kenyataan yang sebenarnya ialah, bahwa imperialisme itu adalah untuk kepentingan-kepentingan imperialisme sendiri! Imperialisme adalah bertentangan kepentingan dengan kita: bukan kepentingan imperialismelah me-“matang”-kan kita atau me”rijp”-kan kita; bukan kepentingan imperialismelah “menganugerahkan” kemerdekaan kepada kita. Kepentingan imperialisme adalah meneruskan, mengekalkan, mengokohkan penjajahan itu buat selama-lamanya!
________________________________________
[1] Bank Nasional, salah satu aksi menolong diri sendiri, yang menjadi pendirian dr. Sutomo telah didirikan di Surabaya di bawah panji-panji Parindra (Partai Indonesia Raya)
[2] “Colijn over Indie”. Hal. 41.
[3] Pennelikkers= penjilat melalui tulisan.

Partai Nasional Indonesia (4)
O..memang, imperialisme datangnya ialah dari bangsa-bangsa yang lebih pandai dari kita; imperialisme datangnya ialah dari negeri-negeri yang mempunyai kebudayaan lebih modern dari kita; imperialisme datangnya ialah dari dunia yang lebih tinggi teknik dan ilmu pikirannya dari kita, imperialisme datangnya ialah dari kalangan yang lebih pandai menjalankan “struggle for life” dari kita. Kita mengakui hal ini semua. Tetapi kita tidak mau mengakui, bahwa sistem imperialisme itu, karena itu, mendidik kita ke arah ke”matang”-an! Karl Kautsky, ahli teori Demokrasi Sosial yang termashur itu, di dalam bukunya “Sozialismus und Kolonial-politik” bab III, menulis:
“Tetapi pemerasan kapitalisme itu bukan saja berdasar kepada kekerasan terang-terangan, kepada hak siapa yang lebih kuat, juga bukan kepada perbedaan golongan-golongan, tapi kepada kemerdekaan dalam pergaulan hidup dari individu, yang menjadi tidak-merdeka, oleh karena pihak yang satu tidak mempunyai apa-apa sedang pihak yang lain memiliki semua alat-alat produksi untuknya sendiri. Tetapi orang yang tidak punya apa-apa dengan sendirinya kekurangan pula alat-alat peradaban, jadi juga kekurangan peradaban. Maka peradaban ini kelihatannya hanya terbatas kepada kelas yang berkuasa saja. Demikianlah kelihatannya seolah-olah buat yang kemudian ini, kekuasaannya atas proletariat, adalah kekuasaan peradaban atas kebiadaban, kekuasaan kaum intelektual yang terpilih atas rakyat banyak yang tidak terpelajar, the great unwashed[1] sebagai orang Inggris menyebutnya. Dari kaum pemilik memegang keras pandangan yang salah ini…..Bukan untuk keuntungan mereka, bukan untuk mendapat laba mereka itu, menurut pandangan yang salah ini, memeras kaum proletar itu, mereka hanya memerintahi kaum proletar untuk kepentingan umum dari masyarakat. Di dalam lingkungan bangsa sendiri kesusilaan seperti ini berarti membenarkan hak yang lebih tinggi dari orang yang punya terhadap orang yang tidak punya. Terhadap bangsa-bangsa lain kesusilaan ini….. dalam prakteknya menyatakan tidak lain dari paham, bahwa bangsa-bangsa kapitalistis berhak menguasai seluruh dunia manusia!”[2]

Tuan-tuan hakim yang terhormat, itulah dasar semua omongan tentang “semboyan perwalian” dari sistem imperialisme atas kami, bangsa yang “sekarang bodoh”, dasar semua omongan tentang pendidikan dari “tidak matang” dijadikan “matang”.

Tidak, tidak, — perwalian itu tidak ada, didikan itu omong kosong belaka,– didikan itu “mere phrase”. Kalau bangsa Indonesia ingin mencapai “kekuasaan politik, yakni ingin merdeka, kalau bangsa kami itu ingin menjadi tuan di dalam rumah sendiri, maka ia harus mendidik diri sendiri, menjalankan perwalian atas diri sendiri berusaha dengan kebisaan dan tenaga sendiri! Dari sistem imperialisme ia tidak mendapat pertolongan; dari sistem imperialisme ia malahan hanya akan mendapat rintangan!
Sudah semestinya kaum imperialisme itu merintangi-rintangi tiap-tiap usaha kami ke arah kedewasaan. Sudah semestinya kami dialang-alanginya di dalam kami punya perwalian atas diri sendiri, dimaki-maki, dimintakan hukuman, dimintakan pembuangan, dimintakan tiang penggantungan sebagai dulu Nieuws van den dag memintakannya. Oleh karena itulah, Tuan-tuan hampir saban minggu, saban hari membaca cacian dan makian dari pihak AID de Preangerbode, atau Java Bode atau De Locomotief, atau Soerabajaasch Handelsblad[3] kepada alamat kami, membaca hasutan-hasutan yang sampai mencoba mempengaruhi keadilan putusan Tuan-tuan di dalam proses ini!

Ah, Tuan-tuan hakim, itu begitu logis, itu begitu vanzelf-sprekend,[4] itu memang semustinya: Tuan-tuan mengetahui, bahwa AID de Preangerbode adalah surat kabar kaum karet, kaum kina, kaum teh di seluruh Priangan; Tuan-tuan mengetahui, bahwa Soerabajaasch Handelsblad adalah surat kabar kaum gula; Tuan-tuan mengetahui bahwa Nieuws van den Dag adalah surat kabar kaum gula; Tuan-tuan mengetahui bahwa Nieuws van den Dag adalah surat kabar kaum dagang di Kali Besar; Tuan-tuan mengetahui bahwa semua surat kabar yang reaksioner itu adalah surat kabar kaum imperialisme yang kami musuhi itu, bahwa jeritan-jeritan yang mencaci maki kaum pergerakan itu ialah jeritan orang-orang yang takut akan kebakaran gedung hartanya, takut terancam dividennya, takut terancam keselamatan perusahaannya yang menghasilkan kekayaan berjuta-juta itu! Tuan-tuan mengetahui hal itu semuanya! Dan oleh karenanya, tidak khawatirlah kami akan apa yang dituliskan oleh Mr.Hitter dalam buku “Drukpersvrijheid” serie pro en contra,[5], tentang:
“Kemungkinan, bahwa kekuasaan hakim kena pengaruh oleh pendapat umum, adalah suatu kemungkinan yang berbahaya”,
dan percayalah kami, bahwa Tuan-tuan akan menjalankan keadilan dengan tidak kena pengaruh hasutan-hasutan surat-surat kabar yang benci kepada pergerakan itu tadi.
Ah, Tuan-tuan Hakim, kami sudah biasa lagi akan makina-makian yang memang sudah logis itu. Kami tak heran lagi tentang itu;–kepentingan mereka terancam oleh usaha kami, mereka tentunya menjadi geger!

Prof. Snouck Hurgronje menulis:
“Kaum majikan telah mengadakan organisasi yang kuat dan mendapatkan jaminan bantuan dari orang-orang yang licin lidahnya dan tajam penanya, untuk dengan jalan propaganda yang luas, bukan saja menghilangkan segala keragu-raguan terhadap berkah-berkah (yakni berkah-berkah kapital partikelir, Sk.), tapi juga untuk memerangi dengan hebatnya orang-orang yang ragu-ragu itu. Sekalian surat kabar Eropa di Hindia sekarang berdiri di belakang mereka, juga koran-koran yang dulu dengan senang hati membuka kolom-kolomnya untuk ratapan hati dari dunia Bumiputra. Tidak, keberanian adalah…. perlu, untuk melawan pasukan-pasukan yang diperlengkapi dengan segala macam alat peperangan itu”.[6]
Dan Tuan Lievegoed, bekas redaktur De Locomotief, seorang liberal yang tulus hati, yang karena itu dikeluarkan dari De Locomotief, seorang Liberal yang tulus hati, yang karena itu dikeluarkan dari De Locomotief,[7] sudah dalam tahun 1925 menulis bahwa kegegeran kaum imperialisme itu, adalah:
“suatu ekstremisme-kanan zonder cita-cita, yang menjalankan politik duit secara membuta-tuli, dengan semboyan-semboyan yang memekakkan telinga,” dan bahwa: “tidak ada golongan yang lebih merugikan kekuasaan Hindia-Belanda di Indonesia dari golongan yang gembar-gembor ini, yang dengan pura-pura menyokong pemerintah, memukul kanan-kiri untuk merebahkan segala yang mengancam kepentingannya yang sempit”. (Locomotief, 5 November 1925).
________________________________________
[1] The great unwashed= kaum yang tidak tercuci
[2] Karl Kautsky dalam “Sozialismus und Kolonial-politik” bab III hal.19.
[3] Nieuws van den Dag, A ID de Preangerbode, adalah surat-surat kabar Belanda berbahasa Belanda di Indonesia tahun tiga puluhan.
[4] Vanzelfspreken= masuk akal
[5] Menjelang proses peradilan Bung Karno di Landraad Bandung, telah banyak komentar pers yang pro dan kontra, kemudian komentar itu oleh Mr. Ritter dibukukan dengan judul “Drukpersvrijheid” (kebebasan pers)
[6] “Colijn over Indie” hal. 39.
[7] Ternyata kebijaksanaan memberhentikan wartawan yang dianggap mengganggu ketertiban, telah berlaku juga di masa itu, walau terhadap orang Beland sendiri.

Partai Nasional Indonesia (5)
Benar! Benar sekali. Tuan-tuan Hakim: “pura-pura menyokong pemerintah”, “onder het voorwendsel vangezagsschraging”, mereka minta kami dihukum, dibuang, atau digantung, tetapi sebenarnya ialah oleh karena kantongnya dan dividennya terancam! Untuk keselamatan kantong dan untuk keselamatan dividen ini juga, mereka kalau perlu, tak segan pula melanggar kekuasaan pemerintah itu, sebagai misalnya AID de Preangerbode tak segan sebentar-sebentar melanggar kekuasaan itu, atau sebagai misalnya Nieuws van den Dag, yang dulu pernah menghina Gubernur Jenderal de Graeff[1] dengan penghinaan:
“Pergilah, enyahlah, Hindia butuh kepada orang-orang yang lebih keras!”
Kantongnya terancam! Tuan-tuan Hakim, kantongnya terancam!—Untuk melindungi kantong ini, maka mereka mengabui mata umum, — untuk menjaga kepentingan ini maka mereka mengadakan pers yang tiiada moral melainkan moral duit, tiada kesusilaan melainkan kesusilaan fulus! “Juga negeri Belanda,” – begitulah Tuan Vleming, bekas kepala dinas akuntan pajak di sini, berpidato,
‘Juga negeri Belanda masih tetap suatu negeri yang diperintah secara kapitalistis, di mana kapital besar yang disusun dalam organisasi yang kuat itu, dan tidak kurang-kurang pula kapital besar yang mempunyai kepentingan-kepentingan di Indonesia, bukan saja mempunyai kekuasaan ekonomi yang besar sekali, tetapi juga bisa menjalankan pengaruh yang hebat atas pemerintah dengan segala alat-alat yang ada padanya. Dan alat-alat ini bukan sedikit.
Kapital besar ini berhubungan rapat dengan kapitalis-kapitalis besar Inggris, Amerika, Belgia, Jerman, Prancis, dan lain-lain yang oleh adanya apa yang disebut politik pintu terbuka, juga mempunyai kepentingan-kepentingannya di Indonesia dan yang tergabung dengan kapitalis-kapitalis besar Belanda dalam organisasi “Dewan Majikan untuk Hindia-Belanda, yang didirikan dalam tahun 1921. Dengan langsung atau tidak langsung dewan majikan ini mempunyai pers dan dinas penerangan pers yang luas, sedang anggota-anggotanya yang berkepentingan mempunyai pula hubungan dengan dua surat kabar yang terbit di luar negeri, yakni “The New World” dan “Le Monde Nouveau”. Dengan kebohongan, penipuan, perampasan makanan orang,– dan di mana perlu untuk kepentingannya dan jika bisa mencapai maksudnya mereka bersedia berlaku lebih kejam lagi—maka kapital besar yang tersusun dalam organisasi itu, melakukan perjuangan untuk kepentingannya di tiap negeri, jadi juga di Indonesia, sekali-sekali mengubah haluan dimana perlu.”[2]
Lebih terang dari tuan Vleming itu tak bisalah digambarkan asal-usul moral duit dan kesusilaan duit dari pers imperialisme di Indonesia itu. Oleh karena itu, tak haruslah kita heran atau marah atas kegegeran surat-surat kabar ala AID de Preangerbode atau ala Soerabajaasch Handelsblad itu. Biar mereka gembar-gembor, biar mereka berpikir ke kanan dan ke kiri, biar mereka jengkelitan berdiri di atas kepalanya, — kami tak akan ambil pusing, kami tak akan ambil mumet, kami akan bekerja terus!
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, marilah kami mengulangi lagi: kekuasaan politik, kemerdekaan, hanyalah bisa didatangkan oleh usaha rakyat Indonesia sendiri! Kaum imperialisme sudah semestinya mengalang-alangi kami; dari sistem imperialisme, yang hidupnya daripada penjajahan itu, kami tak harus mengharap sokongan memberhentikan penjajahan itu. Nasib kami adalah di dalam genggaman kami sendiri; keselamatan kami adalah di dalam kemauan kami sendiri, di dalam tekad kami sendiri, di dalam kebisaan kami sendiri, di dalam usaha kami sendiri. Semboyan kami tidaklah “minta-minta”, tidaklah “mengemis”, tidaklah “mendicancy” sebagai Tilak mengatakannya,– tetapi semboyan kami haruslah “noncooperation”, lebih benar: “selfhelp”, “zelfver-werkelijking”, “selfreliance”!, sebagai yang kami lambangkan dengan perlambang kepala banteng!
Siapa yang masih mengharap-harap pertolongan dari sistem imperialisme, siapa yang masih percaya akan “anugerah” yang nanti akan di-“anugerah”-kan olehnya, siapa yang masih menggugu akan omongan “mission sacree”, siapa yang masih mengarahkan muka ke Barat, ia adalah sama sekali buta akan kenyataan yang sebenarnya, buta akan realiteit.
Sebab kenyataan yang sebenarnya ialah, sebagai tertulis di dalam keterangan asas kami, bahwa negeri Belanda peri kehidupannya sangat tergantung kepada penjajahan Indonesia. Kenyataan yang sebenarnya menyebabkan Mr. Dijkstra di dalam “Indische Gids”[3] 1914 menulis:
“Penduduk di dalam seratus dua ratus tahun ini tidak bisa mengharapkan dari imperialisme kebudayaan kita, bahwa kekuasaan dan pengetahuan kita akan kita pergunakan untuk memajukan peradaban dan kesehatan mereka.”
Kenyataan yang sebenarnya menyebabkan Tuan Vleming berpidato:
“bagi kesejahteraan umum penduduk yang hampir 7½ juta dari negeri kita yang kecil……….besar sekali faedahnya, bahwa saban tahun mengalir ke negeri Belanda suatu saldo ekspor yang besar jumlahnya, artinya suatu jumlah harga barang ekspor Hindia yang jauh lebih besar dari jumlah harga impor, berupa dividen, bunga, tantieme, gaji-gaji, pensiun, gaji-perlop, dan lain-lain.[4]
Kenyataan yang sebenarnya ialah, bahwa, sebagai Prof. Moon menuliskan, kebesaran negeri Belanda sekarang ini adalah oleh karena negeri Belanda itu mempunyai negeri jajahan Indonesia yang luas dan banyak penduduk itu. Kenyataan yang sebenarnyalah menjadi sebab Dr. Sandberg tempo hari geger membikin buku yang istimewa bernama: “Indie verloren, rampspoed geboren”,[5] Indonesia merdeka, Belanda pun bangkrut”, menjadi sebab Komisi untuk Pertahanan Hindia-Belanda menulis:
“Juga dipandang dari sudut ekonomi, lepasnya Hindia akan berarti bencana nasional yang sehebat-hebatnya bagi negeri Belanda.”[6]
________________________________________
[1] Jhr. Andries C.D. de Graeff, Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1926-1931, menteri luar negeri dalam kabinet Colijn 1933-1937.
[2] Vleming dalam bukunya “Intern. Soc. Dem, Kol. Pol”, hal.82
[3] “Indische Gids” sebuah penerbitan Belanda yang mengutamakan pemuatan penelitian ilmiah. Buku yang dikutip terbitan tahun 1914, No. 36 II, hal. 1240.
[4] Vleming, Ibid hal.72.
[5] Dr. Sandberg, dalam bukunya, “Indie verloren, rampspoed geboren” diterbitkan D.A. Daamen, ‘s-Gravenhage, 1914.
[6] Pledoi Sneevliet di pengadilan Belanda (1917) yang mengakibatkan Sneevliet (1883-1942) diinternir. Sneevliet adalah orang Belanda yang mendirikan Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP) tahun 1914 di Indonesia.

Partai Nasional Indonesia (6)
Kenyataan yang sebenarnya adalah, bahwa sudah zaman dulu pun menteri Baud sudah pernah berkata, “Indie is de kurk waarop Nederland drijft,” “ Hindia adalah gabus di atas mana negeri Belanda terapung-apung,” bahwa de Kat Angelino di dalam bukunya “Staatkunding beleid en bestuurrszorg in Ned.-Indie[1] (buku standar yang penerbitannya mendapat sokongan dari Kementerian Daerah Jajahan, Tuan-tuan Hakim), dengan terus terang menulis:
“Dunia Barat yang penuh industri itu, tidak bisa hidup dengan tiada hasil-hasil daerah-daerah pertanian beriklim panas dan setengah panas, yakni daerah-daerah yang terutama menjadikan dunia jajahan. Masyarakatnya terikat teguh oleh banyak tali-temali ekonomi kepada daerah-daerah itu dan masa depannya.”
Tidakkah ini berarti, bahwa dunia Barat itu seperti bunuh diri, kalau dengan kemauan sendiri memberi kemerdekaan kepada dunia Timur? Bahwa sesungguhnya: siapa yang dengan keadaan yang semacam itu masih berani mengharapkan pertolongan dari dunia Barat di dalam usahanya memerdekakan negeri dan bangsanya,– ia adalah menutupkan mata. PNI tidak mau menutupkan mata, PNI tidak mau mimpi, PNI tidak mau ngelamun, — PNI bangun sebangun-bangunnya!
Banyak orang yang mengatakan, bahwa politik PNI yang bersendi kepada “percaya diri sendiri itu”, adalah disebabkan karena pemerintah tidak memenuhi ia punya “janji-janji bulan November” tahun 1918,[2] yang menyanggupkan perluasan hak-hak bagi rakyat Indonesia. Sangkaan yang demikian ini adalah salah: Asas PNI “percaya pada diri sendiri” bukanlah disebabkan karena tidak dipenuhi janji-janji November itu; asas PNI itu, sebagai tadi kami terangkan, adalah keluar dari analisa keadaan jajahan di dalam hakikatnya,-yakni dari analisa hakikat imperialisme sendiri. Asas “percaya pada diri sendiri” itu, tidaklah buat Indonesia saja, tetapi sebenarnya dipakai untuk perjuangan tiap-tiap rakyat jajahan yang mengejar kemerdekaan. Ia boleh dipakai oleh bangsa India, bangsa Indocina, bangsa Filipina, bangsa Korea, bangsa Mesir,–pendek kata oleh tiap-tiap bangsa yang berkeluh kesah memikul beban imperialisme asing. Asas kami tidaklah terikat kepada batas-batas negeri kami sendiri saja,–asas kami adalah “supranational”, oleh karena hakikatnya imperialisme adalah supranasional pula. Imperialisme di dalam hakikatnya di mana-mana adalah sama; di mana-mana imperialisme adalah: nafsu menguasai dan mempengaruhi negeri orang lain untuk keuntungan sendiri; di mana-mana imperialisme adalah bertentangan kepentingan dengan rakyat yang didudukinya! Di mana-mana sistem imperialisme tidak akan me-“matang”-kan dan memerdekakan jajahannya dengan kemauan sendiri!
Tidak dipenuhinya janji-janji November itu tidaklah membikin keingkaran kami. Politik Gubernur Jenderal Fock yang mencederai kata kehormatan yang oleh pemerintah van Limburg Stirum disanggupi itu. Politik Gubernur Jenderal Fock yang malahan memberatkan nasib kami dengan penghematan, dengan istilah kebanyakan pegawai, dengan cabutan tunjangan kemahalan, dengan tambahan pajak, dengan surat edaran pembungkeman, dengan larangan berapat, dengan pasal 161 bis dan sebagainya; politik Gubernur Jenderal Fock yang sama sekali suatu penghinaan atas semangat janji-janji bulan November itu, politik yang demikian itu tidak menjadi asal kami punya asas, tetapi hanya menambah teguhnya kami punya kepercayaan di dalam kebenaran kami punya asas itu saja, menambah teguhnya kami punya kepercayaan terhadap kebenaran kami punya analisa: yakni analisa, bahwa kaum imperialisme yang sesudah perang besar itu malahan makin butuh akan Kekayaan Indonesia, harus menjalankan pengaruhnya atas pemerintahan! Janji-janji bulan November yang toh diberikan juga, tidak karena sekonyong-konyong kami dipandang lebih “matang” sedikit, tetapi hanya karena keadaan politik sangat mengkhawatirkan, yakni karena pada masa itu perhubungan Belanda-Indonesia menjadi sangat tipis sekali, pergerakan rakyat makin membanjir, sedang keadaan di negeri Belanda sendiri sangat berbahaya,– janji-janji bulan November yang oleh karenanya, toh sudah mempunyai sifat “janji-janji karena takut” alias “angstbeloften” itu, janji-janji November itu, sesudah bahaya hilang, oleh kaum imperialisme tidak boleh tidak harus dipaksakan mencederainya!
“Ketika itu adalah memuncaknya kejadian-kejadian internasional, tatkala pecahan-pecahan singgasana-singgasana yang dihancurkan mendesing-desing melintasi kuping-kuping rakyat Belanda dan guntur revolusi-revolusi di luar negeri menggemuruh di atas padang-padangnya,”
-begitulah Troelstra menggambarkan keadaan tatkalan janji-janji November itu perlu diucapkan, tetapi, sesudah bahaya hilang, tatkala janji-janji November itu perlu dicabut lagi, maka segeralah kita mengetahui “rahasia” sebabnya, yakni “rahasia” yang dibukakan oleh Prof, Treub di dalam rapat Dewan Majikan tanggal 21 Juni 1923, -yang bunyinya:
“Salah satu kesan yang sudah ada pada saya, lama sebelum saya datang ke Hindia, bertambah keras waktu saya berada di sana, yakni bahwa disebabkan karena peperangan, Hindia menjadi jauh lebih penting lagi buat negeri Belanda dari dulu!”
“Rahasia!”…tetapi! “rahasia” yang buat kami kaum PNI bukan “rahasia” lagi, – “rahasia” yang gemerincing dengan ringgit, “rahasia” yang berbau gula, “rahasia” yang berbau karet, “rahasia”, yang berbau minyak, berbau teh berbau tembakau dan lain-lain. Sedang di zaman perang, kelebihan ekspor “hanya” kurang lebih f 300.000.000,-setahun, sedang di zaman perang itu persentase kelebihan ekspor “hanya” rata-rata 40% dari ekspor seluruhnya, maka di dalam tahun 1919 menjadilah ia lebih dari f 1.400.000.000,-, menjadilah ia lebih dari 70% dari jumlah ekspor![3]
Oleh sebab itu, ini “rahasia” adalah “rahasia” yang tidak mengherankan kami lagi, janji-janji bulan November harus dicederainya, harus digantinya dengan politik yang sangat reaksioner!
Di dalam buku peringatan lima belas tahun berdirinya Indonesische Vereeniging, halaman 25-26, kami baca:
“Dan tatkala sesudah damai, oleh kerja pembinasaan besar-besaran itu, keadaan ekonomi menjadi kacau-balau…maka eropa menjadi berlipat ganda memerlukan ‘daerah-daerah terbuka’ di timur, dimana ibunda alam dengan sabarnya yang tak terhingga memberikan kekayaan-kekayaannya. Maka perlulah suatu politik negara yang tujuannya ialah pelaksanaan kekuasaan yang seluas-luasnya, sebab jika tiada demikian, tidak dapat dilakukan pengedukan sebanyak-banyaknya. Politik Inggris yang reaksioner segera sesudah perang selesai terhadap India; adalah suatu akibat yang tidak bisa dielakkan dari hal ini. Tapi juga, Amerika, yang terutama masih bisa hidup dari kekayaan sendiri, melepas politik isolemen-nya yang terpuji itu dan bertindak sebagai kekuasaan imperialis di timur. Jika tidak, apakah sebabnya keterangan-keterangan pemerintah berbeda satu sama lain….yakni bahwa Filipina mula-mula dianggap ‘matang’, kemudian pula tidak ‘matang’ untuk kemerdekaan, yang dijanjikan dalam jones act tahun 1916? Negeri belanda, yang karena sikap netralnya di masa perang, terpelihara dari kerusakan-kerusakan harta benda, tetapi mengalami juga sedikit-banyaknya krisis di benua eropa, berusahalah sekuat-kuatnya untuk menggerakkan kembali tali-tali ekonomi dengan Hinda-Belanda yang oleh peperangan telah menjadi longgar”……………..
Dan Gubernur Jenderal Fock dikirimlah kemari, janji-janji November musnahlah menjadi kabut atau halimun di dalam ingatan belaka,–lebih teguh lagilah oleh karenanya keyakinan kami akan azas “selfhelp” dan “Selfreliance” itu, lebih insyaf lagilah kami, bahwa kemerdekaan adalah hasil peruangan kami sendiri.
________________________________________
[1] De Kat Angelino dalam “Staatkunding beleid en bestuurzorg in Ned Indie” hal.89 (kebijaksanaan ketatanegaraan dan pembinaan pegawai di Hindia Belanda).
[2] Janji-janji bulan November tahun 1918, atau lebih terkenal “November belofte”, adalah janji yang diucapkan oleh Gubernur Jenderal Limburg Stirum di Volksraad (Dewan Hindia) bulan November 1918, bahwa Regerings-reglement (aturan pemerintahan) segera akan diubah, supaya diperlukan pemindahan hak-hak pemerintahan dari Nederland ke Indonesia. Janji ini tidak pernah ditepati, maka Fock dikirim menggantikan Limburg Stirum (mulai tahun 1919).
[3] Bandingkan Koch “Vakbeweging”, 1927 hal.570, dan van Gelderen, “Voorlezingen”-,’hal. 98 dan seterusnya.

Partai Nasional Indonesia (7)
Pembentukan tenaga, pembentukan kekuasaan atau machtsvorming.
Bahwasanya, sebagaimana kaum buruh negeri Belanda berjuang untuk hak pemilihan umum (algemeen kiesrecht) dengan nyanyian:
“Wathelpen ons gebeden, voor het kiesrecht dient gestreden!”, “Tiada guna meminta sayang, buat hak pilih harus berjuang!”,
Maka kami juga mendengungkan kami punya semboyan:
“Tiada guna meminta sayang, buat kemerdekaan harus berjuang!”-
“ Whathelpen ons gebeden, voor de vrijheid dient gestreden!”
Berjuang! Dengan apa berjuang? Dengan pedang? Dengan bedil? Dengan bom? Dengan merusak keamanan umum? Dengan menjalankan kejahatan? Amboi, tidak! Tidak dengan pedang, tidak dengan bedil, tidak dengan bom, tidak dengan melanggar pasal 153 bis atau 169, tidak dengan melintasi batas undang-undang kami berjuang, –kami berjuang ialah dengan “pembentukan tenaga” yang halal, dengan suatu modern georganiseerde machhtsvorming di dalam lingkungan undang-undang, sebagaimana kaum buruh di negeri Belanda berjuang melawan kapitalisme dan “mengambil” kekuasaan politik itu juga tidak memakai cara-cara yang diharamkkan oleh hukum, melainkan juga hanya dengan pembentukan tenaga yang halal belaka. Pembentukan tenaga yang halal, pembentukan kekuasaan di dalam lingkungan undang-undang, itulah yang PNI maksudkan, Tuan-tuan Hakim, dan bukan pembentukan tenaga yang diharamkan oleh undang-undang itu, — bukan pembentukan kekuasaan dengan serdadu-serdadu rahasia, bukan pembentukan kekuasaan ala nihilisme, bukan pula pembentukan kekuasaan yang bermaksud membahayai “keamanan umum”, melanggar pasal 153 bis dan pasal 169 undang-undang hukum pidana.
Jadi buat apa pembentukan kekuasaan! Buat apa machtsvorming! Kami dengar orang bertanya. Machtsvorming, pembentukan kekuasaan, oleh karena soal jajahan adalah soal kekuasaan, soal macht! Pembentukan kekuasaan oleh karena seluruh riwayat dunia mengatakan bahwa perubahan-perubahan besar hanya diadakan oleh kaum yang menang, kalau pertimbangan akan untung rugi menyuruhnya, atau kalau suatu kekuasaan menuntutnya. “Tak pernahlah suatu kelas suka melepaskan hak-haknya dengan kemauan sendiri,” begitulah Marx berkata. Seluruh riwayat dunia adalah riwayat pergerakan-pergerakan kekuasaan ini. Seluruh riwayat dunia, terutama sesudah lahirnya faham demokrasi pada fajar abad ke-19, adalah menunjukkan pembentukan kekuasaan itu; tiap-tiap partai politik, tiap-tiap serikat pekerja, tiap-tiap perkumpulan adalah suatu pembentukan kekuasaan, suatu pembentukan kekuatan. Orang seorang-seorang tidaklah bisa mengembangkan kekuasaan yang besar. Maka manusia seorang-seorang itu lantas berkumpul, menggabungkan diri satu sama lain,– suatu perkumpulan lahirlah ke dunia. Kalau misalnya orang-orang Eropa di sini mengadakan suatu perkumpulan PEB,[1] kalau orang-orang Eropa di sini mendirikan Vaderlandsche Club, kalau sebagian orang Tionghoa membangunkan Chung Hwa Hui, kalau orang-orang Bumiputra berserikat dalam “Wargi Bandung” atau “Tulak Bahla Tawil Oemoer”, maka mereka hanyalah mendirikan badan-badan pembentukan kuasa belaka.
O, memang, pembentukan kekuasaan PEB, pembentukan kekuasaan Vaderlandsche Club, pembentukan kekuasaan “Tulak Bahla Tawil Umur” tidaklah sama sifat tabiatnya dengan pembentukan kekuasaan PNI. Sedang P E B mengejar kepentingan-kepentingan yang sesuai dengan kepentingan imperialisme, sedang Vaderlandsche Club mau meneruskan penjajahan Indonesia itu sampai kiamat, sedang T B T O percaya pula dalam kebahagiaan penjajahan itu, — sedang perkumpulan-perkumpulan itu adalah partai-partai reaksi atau partai-partai konservatif, maka PNI adalahh mengejar kepentingan-kepentingan yang sama sekali bertentangan dengan kepentingan imperialisme, PNI adalah partai perlawanan, partai oposisi. Pembentukan kekuasaan PNI sebagai yang tadi kami katakan, pembentukan kekuasaan PNI adalah timbul dari keyakinan, bahwa soal jajahan adalah soal kekuasaan. Selama rakyat Indonesia belum menjadi suatu kekuasaan yang mahasentosa, selama rakyat itu masih saja tercerai-berai dengan tiada kerukunan satu sama lain, selama rakyat itu belum bisa mendorongkan semua kemauannya dengan suatu kekuasaan yang teratur dan tersusun,– selama itu maka kaum imperialisme yang mencari untung sendiri itu akan tetaplah memandang kepadanya sebagai seekor kambing yang menurut dan akan terus mengabaikan segala tuntutan-tuntutannya. Sebab tiap-tiap tuntutan rakyat Indonesia adalah merugikan bagi imperialisme; tiap-tiap tuntutan rakyat Indonesia tidaklah akan diturutinya, kalau kaum imperialisme itu tidak terpaksa menurutinya. Tiap-tiap kemenangan rakyat Indonesia atas kaum imperialisme dan pemerintah adallah buah desakan yang rakyat itu lakukan, — tiap-tiap kemenangan rakyat Indonesia itu adalah suatu konsesi yang dipaksakan!
Sosialis Cramer pada 10 Juni 1925 berkata dalam Tweede kamer:
“Walaupun diselimuti dengan kata-kata manis, dari sini nyata sekali, bahwa…..kepentingan-kepentingan Belanda, atau lebih benar, kepentingan-kepentingan kapital besar,senantiasa lebih dulu harus dijamin keselamatannya; kepentingan-kepentingan rakyat Hindia baru diperhatikan dalam tingkat kedua, ketiga atau keempat.
Tuan Ketua!
Rakyat Hindia tentulah tak urung menarik satu-satunya kesimpulan yang benar, bahwa dari suatu kamer yang disusun seperti sekarang ini, tidak bisa dan tidak usah diharapkan apa-apa dan bahwa mereka, jika hendak mencapai sesuatu harus memperhadapkan kekuasaan dengan kekuasaan. Sebab bukankah seluruh soal matang atau tidak matang untuk ikut memerintah itu, terutama adalah soal kekuasaan?”
“Memperhadapkan kekuasaan dengan kekuasaan”, “macht tegenover macht”, begitulah nasihat Cramer. Meskipun demikian, Cramer bukan bolsjewik Cramer bukan sosialis kiri! Cramer bukan orang yang mau main bedil-bedilan atau bom-boman, bukan orang yang mau “membahayai keamanan umum”, bukan orang yang mau “menyerang” atau “merobohkan” kekuasaan pemerintah. Cramer adalah sosialis yang “kutuq”, seorang “warga yang tulus”. Anggota partai oposisi SDAP yang tenang itu!
Bahwasanya, pembentukan kekuasaan suatu partai perlawanan tidaklah selamanya harus pembentukan kekuasaan yang melewati batas hukum! Sebagaimana SDAP dengan jalan pembentukan kekuasaan yang halal itu, dari suatu golongan kecil yang dihina-hina dan dimaki-maki bisa menjadi suatu kekuasaan yang ditakuti orang, karena sekarang mempengaruhi orang ratusan ribu; sebagaimana SDAP itu, dengan pergerakan puluhan ribu kaum rakyat, dengan mendirikan serikat-serikat kaum buruh, dengan mengadakan koperasi-koperasi, dengan mengeluarkan berpuluh-puluh surat kabar, bisa mendesak dan memaksa kepada musuhnya mengadakan konsesi-konsesi yang berharga; sebagaimana SDAP atau kaum buruh di Eropa Barat dengan pembentukan kekuasaan yang mahahebat tetapi halal itu, mau mencapai kekuasaan politik dan lantas memberhentikan kapitalisme, — maka PNI dengan jalan pembentukan kekuasaan pula, ingin menjadi kekuasaan yang ditakuti, yang akhirnya bisa menuntun rakyat Indonesia ke atas “kekuasaan politik juga, — kekuasaan politik kemerdekaan, yang menurut penglihatan kami, adalah syarat yang terpenting untuk memberhentikan imperialisme sama sekali.
________________________________________
[1] P.E.B. (Politiek Economische Bond) adalah satu perkumpulan pengusaha-pengusaha Belanda di Indonesia, yang selalu berusaha mengajukan kepentingan mereka untuk dijadikan kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda.

Partai Nasional Indonesia (8)
Tiap partai Kemerdekaan mau berontak?
“Mencapai kekuasaan politik! Mendatangkan Indonesia merdeka! Ya, benar, mendatangkan Indonesia merdeka! Jadi PNI mau berontak, kalau kemerdekaan itu tidak diberikan! –begitulah orang bisa berkata.
Amboi, aneh benar “logika” yang demikian ini! Kalau memang benar “logika” yang demikian itu, orang lantas boleh me-“logika”-kan pula: jadi, PSI yang bercita-cita pemerintahan Islam itu, juga mau berontak! Atau orang boleh me-“logika”-kan pula: jadi, Budi Utomo, jadi, Pasundan, jadi kaum Betawi, jadi Sarekat Madura, jadi semua anggota PPPKI yang juga mau mendatangkan kemerdekaan itu, juga mau membikin huru-hara! Ya, orang boleh me-“logika”-kan pula: jadi SDAP, jadi ISDP, jadi Albarda c.s. dan Stokvis c.s. yang bersemboyan “mencapai kekuasan politik!, nyah dengan kapitalisme!” itu, juga mau mengamuk dengan bom dan dinamit! :
Amboi, kocak benar kalau begitu: Orang tua Stokvis mengamuk dengan bom dan dinamit! Padaha, — bagaimanakah aksi ISDP? Bagaimanakah aksi SDAP? Bagimanakah Stokvis c.s. dan Albarda c.s. itu mau mencapai kekuasaan politik itu?
“Bagaimanakah jalannya mengambil kekuasaan politik?” begitulah kami itu menjawab di dalam buku kecil mereka tentang asas dan tujuan SDAP:
“Kami sedang melakukan yang demikan itu pada tiap-tiap keping organisasi, yang kami dirikan dan luaskan. Kami bekerja untuk itu pada tiap pemilihan, pada tiap perjuangan untuk hak memilih, pada tiap aksi besar terhadap kaum borjuis. Ini bukan pemberontakan satu hari, tapi adalah pekerjaan perlawanan kami bertahun-tahun…..alat-alat yang kelihatan, yang dipergunakan oleh proletariat dalam perjuangannya, disesuaikan dengan syarat-syarat dan kemungkinan-kemungkinan perjuangan itu dan dengan senjata-senjata yang diberikan oleh masyarakat kapitalis itu sendiri kepada kami. Sebab itulah terutama kami pergunakan parlemen, sebab itulah pula gerakan sekerja memakai senjata mogok – di negeri Belanda adalah hak mogok, Tuan-tuan Hakim – yang bisa dipergunakannya oleh karena tenaga buruh tidak bisa ditiadakan dalam proses produksi. Tapi senjata itu pula yang dipergunakan oleh proletariat juga untuk tuntutan-tuntutan politik umum dan tuntutan-tuntutan kelas, apabila dianggapnya bisa mendatangkan manfaat….kekerasan menurut pengalaman kami, ternyata adalah suatu senjata yang jelek, boleh bilang tidak perlu kalau kekuasaan ada pada kita, merugikan selama kita tidak mempunyai kekuasaan….Tapi aksi apa pun yang hendak kita lakukan, — senjata apa pun hendak kita pakai, — dasar yang tidak bisa ditiadakan dari segala, ialah: adanya suatu organisasi yang tahan lama, kuat susunanya dan tumbuh terus, suatu organisasi yang mempunyai hak susila dan kekuasaan, untuk memegang pimpinan kelas kaum buruh dalam perjuangan kelas-kelas”.[1]
Sesungguhnya, kocak betullah “logika” yang me-“logika”-kan, bahwa karena itu, PNI akan membikin huru-hara. Tetapi, juga dengan tidak menertawakan “logika” yang kocak itu, maka tiap-tiap orang yang mau mengakui bahwa sedikitnya otak kami toh masih belum terganggu, tiap-tiap orang yang tidak memandang kami orang yang gila atau orang idioot, tentulah mengerti, bahwa kami mustahillah tak mengetahui bahwa kemerdakaan itu hanya bisa tercapai dengan suatu usaha susunan dan usaha kekuasaan yang maha sukar dan mahaberat adanya, dan bahwa mustahillah pula kami misalnya bisa berkata, bahwa kemerdekaan itu akan datang dalam tahun ‘30! Sebagaimana kekuasaan politik tidak bisa dicapai oleh kaum buruh Eropa di dalam satu, dua, tiga, sepuluh, dua puluh tahun, maka kemerdekaan pun tak bisa diperoleh rakyat Indonesia dalam satu helaan nafas saja![2]
Ai, ai, “kemerdekaan akan datang dalam tahun ’30!”
Kami dikatakan pernah bilang, bahwa kemerdekaan akan datang dalam tahun ’30! Sesungguhnya, kalau memang benar begitu, perlu sekalilah kami dengan segera dikirimkan ke rumah sakit gila Ciikeumeuh, bagian “pasien-pasien yang tidak sembuh lagi”, bersama-sama dengan saudara Mr. Sartono, yang juga dikatakan pernah berpidato kemerdekaan akan datang tahun ini.
Dalam Bintang Timur, edisi bahasa Belanda, 4 januari yang lain kami baca:
“Atas pertanyaan Mr. Sartono apakah bukti-bukti pendakwaan, polisi menjawab, bahwa pemerintah mendapat kabar dari seluruh Indonesia, bahwa PNI mau mengadakan revolusi dan juga bahwa – ini pun berita-berita dari mata-mata juga – Mr. Sartono di dalam suatu rapat terbuka (???) mengatakan, bahwa tahun 1930 negeri ini akan mendapat- kembali kemerdekaannya….Mr. Sartono lantas menjawab dengan tepatnya, bahwa pucuk Pimpinan tidak pernah merancang maksud seperti itu. Sebab jika benar demikian, tentulah Pucuk Pimpinan mengeluarkan suatu keputusan beserta petunjuk-petunjuk! Dan lagi pula, jika sekiranya sungguh-sungguh mereka itu mempunyai maksud jahat itu, tentulah mereka semuanya menyimpan senjata-senjata atau sekurang-kurangnya golok di dalam rumah, sedangkan sekarang, tatkala dilakukan penggeledahan besar-besaran tidak didapati satu pisaupun atau senjata lain pada pemimpin-pemimpinnya. Dia ingat, bahwa di dalam suatu rapat umum dia pernah menerangkan bahwa dalam tahun 1930 saudara-saudara kita bangsa Tionghoa disamakan haknya dengan bangsa Eropa. Berhubung dengan itu ia berkata, bahwa konsekuensi penyamaan hak itu, orang Indonesia juga berhak mendapat hak-hak yang timbul dari undang-undang penyamaan hak itu. Dia selalu menerangkan, bahwa dia ingin sekali Indonesia merdeka. Dalam hampir saban rapat umum dia menerangkan yang demikian itu dengan tidak ada pembatasan. Tapi dia tidak pernah mengatakan, bahwa Indonesia mulai 1 Januari 1930 akan merdeka, dan bahwa menjelang waktu itu, di sini kan meletus revolusi. Jikalau dia pernah berkata begitu, dia merasa heran mengapa dia tidak ditangkap waktu itu juga.
Benar sekali! Kami tak pernah tedeng aling-aling, bahwa kami mengejar kemerdekaan. Kami tak pernah tedeng aling-aling, bahwa PNI punya idam-idaman ialah Indonesia merdeka! Tetapi kami tidak begitu tolol untuk mengira atau mengatakan bahwa kemerdekaan itu dalam satu helaan nafas saja akan datang!
O, memang, kalau umpamanya kemerdekaan itu bisa jatuh dari langit ini hari, kalau umpamanya bisa datang seorang malaikat manis menghadiahkan kemerdekaan itu ini hari, maka kami, dari Partai Nasional Indonesia, kami tidak akan menolaknya, tetapi sebaliknya akan bersukaria. Kami di dalam hal itu akan mengucap syukur dan alhamdulillah, oleh karena sepanjang keyakinan kami kemerdekaan adalah kunci pintu gerbang surga kebesaran kami. Kami memandang kemerdekaan ini hari itu sebagai suatu cita-cita yang seindah-indahnya, dan oleh karena itu, tidak adalah bagi kami kemerdekaan yang datangnya terlalu pagi.
Kami tidak mau bersikap sebagai kaum setengah sosialis, yang sudah lebih dulu – apriori- menyembunyi-nyembunyikan asasnya sendiri dengan menolak tuntutan merdeka ini hari. Menolak cita-cita merdeka ini hari. Tetapi,…..kemerdekaan tidak akan datang ini hari atau besok pagi! Kemerdekaan hanyalah hasil suatu usaha susunan dan usaha persatuan yang sesuatu rakyat harus kerjakan tak berhenti-hentinya dengan habis-habisan mengeluarkan keringat , membanting tulang, memeras tenaga. Kemerdekaan, menurut perbandingan pemimpin India Surendra nath Banneryee, adalah:
“laksana dewi yang cemburu, yang minta dipuja-puja dengan teliti sekali dan menuntut dari pemuja-pemujanya pembaktian yang rajin dan tiada hentinya.”
Kemerdekaan, begitulah kami sering-sering terangkan di dalam rapat-rapat umum, kemerdekaan tidaklah bagi kami. Kemerdekaan adalah buat anak-anak kami, buat cucu-cucu kami, buat buyut-buyut kami yang hidup di kelak kemudian hari!
Tidak! Untuk mencapai kemerdekaan itu, PNI tidak bermaksud pedang-pedangan atau golok-golokan atau bom-boman, tidak pula bermaksud menyindir atau memujikan pengrusakan keamanan umum atau pelanggaran kekuasaan pemerintah atau menjalankan hal-hal lain sebagai yang dituduhkan kepada kami dalam proses ini, tetapi PNI mengerjakan pembentukan kekuasaan yang halal itu, mengerjakan pembentukan kekuasaan itu menurut contoh organisasi modern, dan sebagaimana kaum buruh di Eropa yang juga memandang kekuasaan politik dan lenyapnya kapitalisme sebagai kunci satu-satunya bagi kebahagiaan yang sejati itu, dalam sementara menumpuk-numpuk pembentukan kekuasaan itu sudah mencoba-coba meringankan nasibnya dengan pelbagai aturan dan kemenangan-kemenangan yang bisa tercapai ini hari; sebagaimana kaum uurh Eropa itu dalam sementara mengejar maksud yang tertinggi itu, tak emoh akan keuntungan-keuntungan yang langsung, maka PNI pun dalam sementara mengejar kemerdekaan itu, sudah pula berjuang secara halal bagi keuntungan-keuntungan ini hari yang demikian itu juga adanya. PNI pun dalam sementara mengejar Indonesia merdeka itu, sudah pula berusaha di atas lapangan ekonomi, sosial dan politik sehari-hari, ya malahan memandang keuntungan-keuntungan ini hari itu sebagai syarat-syarat pula bagi kemerdekaan itu.
Ia mencoba mendirikan sekolah-sekolah, membangunkan rumah-rumah sakit, melawan riba, menyokong bank-bank nasional, membuka koperasi-koperasi, memajukan serikat-serikat sekerja dan perserikatan-perserikatan tani. Ia mencobba menghilangkan pasal-pasal pencegah penyebaran kebencian (haatzaai-artikelen) beserta pasal-pasal 153 bis-ter dan pasal 161 bis dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, menghilangkan hak-hak exorbitante[3] dari gubernur jenderal. Ia mencoba jadi penyokong rakyat yang sengsara itu di dalam kebutuhannya sehari-hari. Dan jika PNI pada saat ini belum banyak hasil di atas lapangan itu; jika PNI belum banyak sekolah-sekolahnya, belum banyak poliklinik-polikliniknya, belum banyak koperasi-koperasinya; jika PNI belum dapat menghapuskan ranjau-ranjau politik yang kami sebutkan tadi, maka itu adalah oleh karena PNI baru berumur dua tiga tahun saja!
________________________________________
[1] Troelstra, dalam risalah SDAP “Wat zij is en Wat zij Will” Cetakan VIII hal. 54.
[2] Sekitar tahun 1930 ada issue yang mengatakan “Indonesia akan merdeka pada tahun 1930”. Sebagai sumber issue diarahkan oleh pemerintah kolonial, seolah-olah dari Bung Karno.
[3] Hak exorbitante, ialah hak istimewa Gubernur Jenderal mengasingkan tokoh pergerakan yang dianggap berbahaya bagi ketertiban umum.

Partai Nasional Indonesia (9)
“Aksi Dengan Perbuatan”
Di dalam makna inilah kongres PNI di Jakarta tahun yang lalu mengambil putusan akan mengadakan “aksi dengan perbuatan” dalam tahun 1929-1930.
Di dalam makna “berusaha secara halal mendatangkan perbaikan-perbaikan yang bisa tercapai sekarang”, begitulah perkataan “aksi dengan perbuatan” itu harus diartikan. Sebelum kongres di Jakarta itu, sebelum Mei 1929 itu, maka PNI masih dalam zaman propaganda. Segala rapat-rapat, segala ucapan-ucapan, gerak-bangkitnya, sebelum kongres di Jakarta itu, terutama hanyalah untuk memperkenalkan diri belaka kepada rakyat Indonesia, mempropagandakan azas-azas dan tujuan-tujuannya, agar rakyat Indonesia mengetahui dan menjadi tertarik dengan kebenaran azas-azasnya itu. Hampir ditiap-tiap rapat umum yang diadakan oleh PNI di dalam fase yang pertama ini, kami hanya berpidato menerangkan panjang lebar kami punya keterangan azas belaka, sebagai yang terletak dalam buku anggaran dasar PNI itu. Hampir tiap-tiap rapat umum di dalam fase ini adalah rapat umum mendirikan cabang baru, atau rapat umum buat menambah terkenalnya diri dan azas PNI di tempat cabang yang sudah ada. Di dalam fase propaganda ini, maka PNI belumlah mengadakan “aksi”; ia belum mengusahakan organisasinya untuk mendatangkan perbaikan-perbaikan yang termaktub dalam daftar usahanya. Di dalam fase itu PNI hanyalah mempropagandakan dasar-dasarnya belaka, –belumlah ia “berusaha”, belumlah ia beraksi untuk melaksanakan rencana kerjanya!
Nah, tatkala di dalam permulaan tahun 1929 PNI semakin banyak anggotanya, tatkala pada permulaan tahun 1929 itu PNI sudah semakin banyak mempunyai tenaga, –tatkala pada saat itu PNI sudah cukup agaknya dipropagandakan,–maka pucuk pimpinan memandang perlu mengerjakan apa yang tertulis dalam daftar usahanya, pucuk pimpinan memandang perlu menginjak lapangan perbuatan, lapangan aksi. Azas dasar sudah cukup dipropagandakan, nah, rencana kerja sekarang harus dikerjakan, “aksi dengan perbuatan” sekarang harus dijalankan! Dan atas usul pucuk pimpinan itu, maka Kongres Jakarta mengambil putusan untuk menjalankan aksi dengan perbuatan itu tentang pasal I d dan III d dari daftar usaha, yakni pasal-pasal “menghapus alangan-alangan yang merintangi kemerdekaan diri, kemerdekaan bergerak, kemerdekaan cetak-mencetak, kemerdekaan berserikat dan kemerdekaan berkumpul”, beserta “memajukan serikat-serikat sekerja dan perserikatan-perserikatan tani”. Sejak Kongres Jakarta itu maka fase propaganda sudah tertutup,–mulailah fase baru, mulailah fase pembangunan yang nyata, yakni fase bekerja, fase aksi.
Caranya beraksi? Caranya beraksi dengan perbuatan? Bom, bedil, dinamit? –Tidak, caranya aksi dengan perbuatan tidaklah dengan bom, tidaklah dengan bedil, tidak dengan dinamit, tidak pula dengan apa-apa yang dilarang hukum. Caranya tak lain dari mengadakan rapat-rapat umum di mana-mana untuk mempengaruhi, menggugahkan, membangkitkan pendapat umum, menulis karangan-karangan di dalam surat-surat kabar, mengadakan kursus-kursus kepada anggota-anggota sendiri tentang pasal-pasal itu tadi. Caranya tak lain adalah menggerakkan kekuasaan kami secara halal, membesar-besarkan kekuasaan itu. Caranya tak lain dari menggerakkan kamu punya kekuasaan secara halal, meluaskan kami punya pembentukan kekuasaan itu, tak lain dari sebagaimana SDAP beraksi, sebagaimana partai Sarekat Islam beraksi, –yakni menggerakkan semangat sendiri dan menggerakkan semangat pendapat umum sehebat-hebatnya,–mengeluarkan tenaga bekerja ke dalam untuk melahirkan badan-badan organisasi yang perlu, misalnya serikat-serikat sekerja dan tani itu tadi, mengeluarkan tenaga bekerja keluar untuk mengadakan desakan yang sekuat-kuatnya agar supaya tuntutan-tuntutannya bisa terlaksana adanya. Bukan desakan dengan bom, bukan desakan dengan dinamit, bukan desakan dengan apa-apa yang dilarang oleh hukum!—tetapi desakan hahal, desakan yang sebagaimana kami katakana di dalam pemeriksaan, oleh Dr. Ratulangi, tatkala ia masih radikal dan belum lunak seperti sekarang, disebutkan “desakan semangat”, “moreel geweld”.
Ah, tuan-tuan hakim, adakah perkataan-perkataan “aksi dengan perbuatan” tentu berarti pemberontakan, barrikaden[1], perkosaan,–adakah perkataan-perkataan itu tentu berarti kekerasan, atau setidak-tidaknya, pelanggaran hukum?
Kaum sosialis Eropa toh sering juga menganjurkan “aksi dengan perbuatan” itu, sering juga menganjurka “aksi langsung”,–dan mereka bukankah juga tidak memaksudkan pelanggaran hukum, perkosaan atau bom-bom dengan “aksi langsung” itu?
“Oleh karena kekuasan kapital besar justru tidak terutama duduk dalam parlemen, tapi diluarnya, maka kaum buruh tidak bisa membatasi perjuangannya kepada parlemen saja. Sebab itu kaum buruh, disamping senjata aksi di dalam parlemen, harus mempergunakan pula, di saat-saat perjuangannya yang besar, senjata aksi yang langsung, yakni aksi politik dari serikat-serikat sekerja”…[2]
Begitulah misalnya pemuka SDAP berpidato,–dan semua orang mengetahui, bahwa dengan aksi langsung diluar parlemen itu, tidaklah dimaksudkan pelanggaran hukum atau perkosaan, atau pemberontakan!
Tidak, tuan-tuan Hakim, sekali lagi kami ulangi: tidak dengan maksud membikin huru-hara, tidak dengan maksud membikin putsch[3], tidak dengan maksud melanggar pasal 153 bis atau lain-lain hal yang dituduhkan di dalam proses ini, PNI mau menjalankan aksinya mengejar kemerdekaan, –tetapi PNI mau mencapai maksudnya dengan mengorganisasi dan menggerakkan suatu organisasi kekuasaan yang sah, suatu organisasi kekuasaan nasional modern, suatu massa-aksi nasional yang menolak tiap-tiap cara yang tidak nasionalistis adanya.
________________________________________
[1] Di Eropa, kalau kaum pemberontak membikin pemberontakan di kota-kota, maka mereka mendirikan barikade di jalan-jalan di dalam kota itu, yakni rintangan-rintangan dari meja, kursi, lemari, karung berisi tanah, dan lain-lain.
[2] Troelstra dalam bukunya, “DeSoc. Dem . na den oorlog” 1921 hal. 17
[3] Putsch= pemberontakan kecil.

Partai Nasional Indonesia (10)
Revolusioner, revolusi
Tetapi perkataan “revolusioner”! Tetapi halnya PNI menyebutkan diri suatu partai “revolusioner”! Tidakkah itu berat bahwa PNI bermaksud mengadakan pemberontakan,, atau setidak-tidaknya bermaksud melanggar kekuasaan pemerintah, mengganggu keamanan umum?
O, memang, kami sering mengatakan bahwa kami adalah kaum revolusioner, kami sering menyebut PNI itu suatu partai revolusioner! PNI memang sedari mulanya adalah suatu partai revolusoner! Kalimat di dalam surat pendakwaan, bahwa PNI adalah kemudian menjadi revolusioner, kalimat itu adalah salah sama sekali. PNI tidak kemudian menjadi revolusioner, PNI adalah revolusioner sejak hari lahirnya! Tetapi kata revolusioner dalam makna kami, sama sekali tidak berarti “mau membikin pemberontakan” atau “menjalankan sesuatu pelanggaran hukum”. Kata revolusioner di dalam makna kami adalah berarti “radikal”, “mau mengadakan perubahan dengan lekas”, “omvormend in snel tempo”. Kata revolusioner di dalam makna kami haruslah diambil sebagai kebalikan kata “sabar”, kebalikan kata “sedang”. Kami, kaum PNI, kami memang bukan kaum sabar, kami memang bukan kaum sedang, kami memang bukan kaum “uler kambang”, yang selamanya kami sebut “kapuk”; kami adalah kaum “radikal”, kaum yang ingin mengadakan perubahan selekas-lekasnya, — kami adalah kaum ”Kepala Banteng”.
Ah, tuan-tuan Hakim, perkataan “revolusioner” toh tidak di dalam makna kami saja berarti “ingin perubahan dengan lekas”, yakni “omvormend in snel tempo”. Kalau orang berkata “mesin uap itu mengadakan revolusi di dalam cara produksi”, kalau orang berkata, “Prof. Einstein sudah merevolusikan segenap ilmu alam”, kalau orang menyebutkan “Yesus kristus seorang revolusioner yang terbesar di seluruh riwayat dunia”, kalau pasifis Tolstoyanis[1] Ds. B. de Light menulis buku “Christen revolutionnair”, — ya, kalau kaum Marxis, berhubung dengan hukum evolusi di dalam pergaulan hidup (sebagai variasi atas Heraclitus “panta rei”) berkata : ”kita hidup di dalam revolusi terus-terusan, yakni di dalam Revolution im Permanenz”, — adalah itu semua mengingatkan akan pedang, akan bedil, akan bom, akan dinamit, barrikaden, darah manusia dan hawa maut?
PNI adalah “revolusioner”, oleh karena PNI ingin mengadakan perubahan yang lekas dan radikal. Prof. Bluntschli, ahli hokum kerajaan yang termashur dan yang sama sekali bukan “kaum merah”, mengatakan bahwa revolusi umumnya berarti: “umgestal-tung van Grund aus”, yakni perubahan yang radikal, perubahan yang sedalam-dalamnya. Sebagaimana tiap-tiap partai yang mau mengadakan perubahan yang radikal adalah suatu partai revolusioner, makas PNI adalah pula suatu partai yang revolusioner, PSI adalah revolusioner, ISDP adalah revolusioner, sebagai Tuan Koch mengakui sendiri, segenap perjuangan kelas dari kaum buruh adalah revolusioner.
“Bukan bentuk-bentuk tertentu dari perjuangan kelas yang revolusioner, tetapi perjuangan kelas itu sendiri yang pada hakikatnya revolusioner, meskipun kebanyakan orang menganggap keributan dan pemogokan, itulah “yang disebut revolusioner,”
begitulah Stenhuis berkata[2]. Dengarkannlah pula bagaimana social democrat Liebknecht yang tersohor itu menerangkan perkataan “revolusioner”:
“kita mengalami “revolusi terus-terusan”, Revolution im Permanenz. Sejarah dunia adalah satu revolusi yang terus-menerus. Sejarah dan revolusi adalah sama. Proses perubahan yang revoolusioner dalam masyarakat dan Negara tak pernah terhenti sekejap mata pun, sebab Negara dan masyarakat adalah barang-barang yang hidup,– dan akhir proses perubahan, proses pembaharuan ini, adalah maut. Kami, kaum social democrat,mengerti akan hal itu dan itulah sebabnya kami membentuk suatu partai revolusioner, yakni suatu partai yang bermaksud menghilangkan rintangan-rintangan bagi perkembangan sewajarnya dari masyarakat dan Negara!”,
dan dengarkanlah apa sebabnya Karl Marx menyebut kaumnya itu kaum revolusioner:
“Kaum sosialis adalah revolusioner, bukan karena mereka bertingkah laku keras, tapi karena anggapan mereka tentang tumbuhnya cara produksi, yakni: di dalam pertumbuhan itu harus ditimbulkan pengertian-pengertian dan bentuk-bentuk baru tentang milik dan produksi. Sebaiknya dari anggapan orang sekarang, mereka itu revolusioner karena cita-cita dan usahanya menyusun dan membikin matang untuk itu, kelas yang harus akan melaksanakan system baru itu”.[3]
Sesungguhnya, jika sekalilah perkataan Karl Kautsky: “Sosial-demokrasi adalah suatu partai yang revolusioner, tapi bukan suatu partai yang bikin revolusi-revolusi!”[4]
Tidakkah ternyata sekarang kebenaran perkataan kami, bahwa SDAP adalah revolusioner, bahwa ISDP adalah revolusioner, bahwa Albarda cs. Adalah revolusioner, bahwa Stokvis, bahwa de Dreu, bahwa Middendorp adalah revolusioner? Tidakkah PNI revolusioner juga, tidakkah kami kaum revolusioner juga, — PNI dan kami, yang juga bermaksud “menghilangkan rintangan-rintangan bagi perkembangan sewajarnya dari masyarakat dan Negara”, juga bermaksud “menyusun dan membikin matang rakyat untuk itu”? Oleh karena itu, sekali lagi, memang PNI adalah revolusioner, kami adalah kaum revolusioner,– tetapi tidak karena apa-apa, melainkan hanya karena PNI ingin perubahan yang lekas dan radikal, ingin “omvorming in snel tempo”, ingin “Umgestaltung von Grund aus” itu. PNI dan kami adalah revolusioner, tidak karena PNI dan kami mau golok-golokan atau bom-boman atau dinamit-dinamitan, tidka karena PNI (dengan perkataan Kautsky) adalah “suatu partai yang bikin revolusi-revolusi”,— tetapi hanya karena PNI ingin menghilangkan segala hal yang merintangi dan memundurkan suburnya pergaulan hidup Indonesia dan mengorganisir rakyat untuk menghilangkan rintangan-rintangan itu.
________________________________________
[1] Pasifis Tolstoyanis= orang yang cinta damai, seperti tercermin dari roman Tolstoy “War and Peace”
[2] Stenhuis dalam pidato 3 Oktober 1928 di hadapan Development Assocation di Amsterdam (lihat AID de Preangerbode 4-8-1930)
[3] Fenderik Peter Godfriend Quack dalam “De Socialisten” Jilid V, hal. 327.
[4] Karl Kautsky dalam “Der WEg zur Macht” hal. 57.

Partai Nasional Indonesia (11)
Kekuasaan semangat
Amboi! Golok, bom dan dinamit! Kami dituduh golok-golokan, bom-boman dan dinamit-dinamitan! Seperti tidak ada senjata yang lebih tajam lagi daripada golok, bom dan dinamit! Seperti tidak ada senjata yang lebih kuasa lagi daripada puluhan kapal perang, ratusan kapal udara, ribuan, ketian, milyunan serdadu darat! Seperti tidak ada senjata semangat lagi, yang, jikalau sudah sadar dan bangkit dan berkobar-kobar di dalam kalbu rakyat, lebih hebat kekuasaannya dari seribu bedil dan seribu meriam, ya, seribu armada laut dan seribu tentara yang lengkap alat dan lengkap senjata! Seperti kami tak mengetahui akan kekuasaan semangat rakyat yang bisa dibikin mahasakti dan mahaadigjaya itu. Orang menuduh kami mau membikin ramai-ramai dengan Mercon sumet dan mercon banting! Seperti tidak ada ilmu ketimuran lagi, yang dinyanyikan dalam buku Bagawad Gita dan yang mengajarkan kekuatan semangat itu!
“Ketahuilah, senjata tiada menyinggung hidup;
Api tiada membakar, tiada air membasahi,
Tiada angus oleh angin yang panas.
Tiada tertembusi,
Tiada terserang, tiada terpijak dan merdeka
Kekal abadi, di mana-mana, tetap tegak,
tidak nampak, terucapkan tiada,
Tiada terangkum oleh kata, pikiran, senantiasa pribadi tetap
–Begitulah disebut jiwa!”
Tidak, PNI tidak mencari kekuasaan dalam ribut-ribut atau bom-boman atau dinamit-dinamitan, tidak pula mencari tenaga dalam sengaja melanggar undang-undang sebagai dituduhkan disini. PNI mencari kekuasaan pembentukan tenaga dalam organisasi sosial dan organisasi semangat rakyat yang sedar dan bangkit, mencari kekuasaan pembentukan tenaganya dengan lebih lagi menghidup-hidupkan dan menyusun semangat rakyat yang oleh pengaruh imperialisme turun-temurun, kemarin sudah hampir padam, tetapi kini mulai menyala lagi. PNI mengetahui, PNI insaf, PNI yakin, bahwa jika semangat rakyat itu sudah tersusun serta menyala-nyala berkobar-kobar, tidak ada satu kekuasaan duniawi yang bisa membinasakannya, PNI yakin bahwa, jika ia sudah menggenggam senjata semangat yang sedemikian itu, ia tentu mencapai segala apa yang dimaksudkan, zonder pedang, zonder bedil, zonder bom, zonder meriam, ya, zonder “kocak-kocakan” sengaja melanggar pasal 153 bisa dan 169 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai yang dituduhkan kepada kami dalam proses ini. Dengan senjata semangat yang demikian itu, maka ia dengan sebenar-benarnya menggenggam senjata yang mahasakti, dengan sebenar-benarnya beraji candrabirawa dan pancasona,–mahhakuasa, kekal abadi, tiada terkalahkan!
‘Siapa bisa merantai suatu bangsa, kalau semangatnya tak mau dirantai? Siapa bisa membinasakan sesuatu bangsa, kalau semangatnya tak mau dibinasakan?”
Begitulah sarojini Naidu, Srikandi India, berpidato tatkala membuka Kongres Nasional India yang ke-40[1] dan Mac Swiney, pendekar irlandia yang termashur itu, di dalam bukunya “Principes de la Liberte” menulis:,
“Sebab seorang yang dirampas senjatanya, tidak bisa melawan orang banyak, satu tentara tak bisa mengalahkan tentara-tentara yang tak terpermanai banyaknya, — tapi semua tentara dari semua negara di seluruh dunia bersama-sama, tidak kuasa menundukkan satu jiwa, yang telah bertekad untuk berjuang mempertahankan hak.”[2]
Sesungguhnya, buat apa bom-boman atau dinamit-dinamitan, buat apa kocak-kocakan sengaja melanggar pasal 153 bis dan 169 – kalau kami dengan pembentukan kekuasaan organisasi semangat itu saja sudah mempunyai kepastian akan mencapai semua maksud?
________________________________________
[1] Sarojini Naidu (1879-1949) pejuang dan pujangga wanita India, pengikut M.K. Gandhi, dalam buku “Asia”.
[2] Mac Swiney dalam buku. “Principes de la liberte” dikutip dari “Intery, en Irlande”, hal. 40.

Partai Nasional Indonesia (12)
Nasionalisme nyawanya pembentukan kekuasaan
PNI oleh karenanya, tak berhenti-hentinya menyubur-nyuburkan semangat rakyat itu. Semangat tiap-tiap rakyat yang disengsarakan oleh suatu keadaan, baik rakyat proletar di negeri-negeri industri, maupun rakyat di tanah-tanah jajahan, adalah semangat ingin merdeka: Nah, kami menyuburkan semangat ingin merdeka itu pada rakyat indonesia. Kami menyuburkannya tidak terutama dengan keinsafan kelas sebagai pergerakan kaum buruh umumnya, tetapi terutama dengan keinsafan bangsa, dengan keinsafan nasionaliteit, dengan nasionalisme. Sebab tiap-tiap rakyat yang dikuasai oleh bangsa lain, tiap-tiap rakyat jajahan, tiap-tiap rakyat yang saban hari, saban jam, merasakan imperialisme bangsa lain, — tiap-tiap rakyat yang diperintahi secara jajahan demikian itu, adalah berbudi akal nasionalistis. Rasa pertentangan, yang di Eropa atau di Amerika, berwujud rasa pertentangan kelas, oleh karena kaum yang berkuasa dan kaum yang dikuasai di sana terdiri dari satu bangsa, satu kulit, satu rasa, — rasa pertentangan itu di suatu negeri jajahan adalah menyatu dengan pertentangan nasionalistis. Bukan terutama rasa pertentangan si buruh terhadap si kapilistis, bukan terutama rasa pertentangan kelas yang kita alami dalam suatu negeri jajahan, tetapi, rasa pertentangan si hitam terhadap si putih, si Timur terhadap si Barat, si terjajah terhadap si penjajah.
PNI mengerti akan hal ini. PNI mengerti, bahwa di dalam kesadaran nasioanlistis, di dalam nasionalisme inilah letaknya daya, yang nanti bisa membuka kenikmatan hari kemudian. PNI oleh karenanya, menyubur-nyuburkan dan memelihara nasionalisme itu, dari nasionalisme yang kurang hidup dibikin jadi nasionalisme yang hidup, dari nasionalisme yang instinktif jadi nasionalisme yang sadar, dari nasionalisme yang statis jadi nasionalisme yang dinamis, – pendek kata: dari nasionalisme yang negatif jadi nasionalisme yang positif. Dibikin jadi nasionalisme positif, Tuan-tuan Hakim, dibikin nasionalisme positif, sebab dengan nasionalisme yang hanya rasa protes atau rasa dendam saja terhadap imperialisme, kami belumlah tertolong. Kami punya nasionalisme haruslah suatu nasionalisme yang positif, suatu nasionalisme yang positif, suatu nasionalisme yang mencipta, suatu nasionalisme yang “mendirikan”, suatu nasionalisme yang “mencipta dan memuja”. Dengan nasionalisme yang positif itu maka rakyat Indonesia bisa mendirikan syarat-syarat hidup merdeka yang bersifat kebendaan dan kebatinan. Dengan sekarang sudah menghidup-hidupkan nasionalisme yang positif itu, maka ia bisa menjaga, jangan sampai nasionalisme itu menjadi nasionalisme yang benci kepada bangsa lain, yakni jangan sampai nasionalisme itu menjadi nasionalisme yang chauvinistis atau jingo-nasionalisme yang agresif, sebagai yang kita alami jahatnya dalam perang dunia yang lalu, — suatu jingo-nasionalisme “of gain and loss” – sebagai kata C.R. Das – yang agresif, yakni suatu jingo-nasionalisme yang bersemboyan “untung atau rugi” dan menyerang kian kemari. Dengan nasionalisme yang positif itu, maka rakyat Indonesia merasai kebenaran kalimat-kalimat Arabindo Chose, yang mengatakan bahwa nasionalisme yang demikian itu adalah sebenarnya Allah sendiri.
Dengan nasionalisme yang demikian itu, maka rakyat kami tentulah melihat hari kemudian itu sebagai fajar yang berseri-seri dan terang cuaca, tentulah hatinya penuh dengan pengharapan-pengharapan yang menghidupkan. Tidakkah lagi hari kemudian itu dipandang olehnya sebagai malam yang gelap-gulita, tidaklah lagi hatinya penuh dengan syak dan dendam belaka. Dengan nasionalisme yang demikian itu rakyat kami akan rida dan suka hati menjalankan segala pengorbanan untuk membeli hari kemudian yang indah yang menimbulkan hasrat itu. Pendek kata: dengan nasionalisme yang demikian itu rakyat kami akan bernyawa, akan hidup, dan tidak laksana bangkai sebagai sekarang!
“Oleh karena rasa kebangsaanlah,” begitu pemimpin Mesir yang termashur, Mustafa Kamil, menggambarkan nasionalisme positif itu:
“Oleh karena rasa kebangsaanlah, maka bangsa-bangsa yang terkebelakang lekas mencapai peradaban, kebesaran dari kekuasaan. Rasa kebangsaanlah yang menjadi darah yang mengalir dalam urat-urat bangsa-bangsa yang kuat dan rasa kebangsaanlah yang memberi hidup kepada tiap-tiap manusia yang hidup”.[1]
Zonder nasionalisme tiada kemajuan, zonder nasionalisme tiada bangsa.
“Nasionalisme adalah-milik yang berharga yang memberi kepada suatu negara tenaga untuk mengejar kemajuan dan memberi kepada suatu bangsa tenaga untuk mempertahankan hidupnya,”[2] begitulah Dr. Sun Yat Sen berkata.
________________________________________
[1] Mustafa Kamil dalam “The New World of Islam” terbitan Lothrop Stoddard, hal. 151.
[2] Sun Yat Sen dalam bukunya “San Min Chu I” (telah ada terjemahan bahasa Indonesia).

Partai Nasional Indonesia (13)
Membangkitkan Nasionalisme: Hari dulu, hari sekarang, hari kemudian
Dan caranya menyuburkan nasionalisme itu? Jalannya menghidupkannya? Jalannya adalah tiga:
Pertama: kami menunjukkan kepada rakyat, bahwa ia punya hari dulu, adalah hari dulu yang indah;
Kedua: kami menambah keinsafan rakyat, bahwa ia punya hari sekarang, adalah hari sekarang yang gelap;
Ketiga: Kami memperlihatkan kepada rakyat sinarnya hari kemudian yang berseri-seri dan terang cuaca, beserta cara-caranya mendatangkan hari kemudian yang penuh dengan janji-janji itu.
Dengan lain perkataan, PNI membangkitkan dan menghidupkan keinsafan rakyat akan ia punya “masa silam yang indah”, “masa yang gelap gulita” dan; “janji-janji suatu masa depan yang melambai-lambai, berseri-seri”. PNI mengetahui, bahwa hanya trimurti inilah yang akan bisa menjadikan kembang Jayakusuma yang menghidupkan kembali nasionalisme rakyat yang layu.
Kami punya hari dulu yang indah, kami punya masa silam yang gemilang! Ah, Tuan-tuan Hakim, siapakah orang Indonesia yang tidak mengeluh hatinya, kalau mendengarkan cerita tentang keindahan itu, siapakah yang tidak menyesalkan hilangnya kebesaran-kebesarannya! Siapakah orang Indonesia yang tidak hidup semangat nasionalnya, kalau mendengarkan riwayat tentang kebesaran kerajaan Melayu dan Sriwijaya, tentang kebesaran Mataram yang pertama, kebesaran zaman Sindok dan Erlangga dan Kediri dan Singasari dan Majapahit dan Pajajaran, – kebesaran pula dari Bintara, Banten dan Mataram kedua di bawah Sultan Agung! Siapakah orang Indonesia yang tak mengeluh hatinya kalau ia ingat akan benderanya yang dulu ditemukan dan dihormati orang sampai di Madagaskar, di Persia dan di Tiongkok! Tetapi sebaliknya, siapakah tidak hidup harapannya dan kepercayaannya, bahwa rakyat yang demikian kebesarannya hari dulu itu, pasti cukup kekuatan untuk mendatangkan hari kemudian yang indah pula, pasti masih juga mempunyai kebiasaan-kebiasaan menaik lagi di atas tingkat kebesaran di kelak kemudian hari? Siapakah yang tidak seolah-olah mendapat nyawa baru dan tenaga baru, kalau ia membaca riwayat zaman dulu itu! Begitulah pula rakyat, dengan mengetahui kebesaran hari dulu itu, lantas hiduplah rasa nasionalnya, lantas menyala lagilah api harapan di dalam hatinya, dan lantas mendapat lagilah rakyat itu nyawa baru dan tenaga baru oleh karenanya.
O, memang, zaman dulu zaman feodal, zaman sekarang zaman modern. Kami bukan mau menghidupkan lagi zaman feodal itu; kami bukan pula mufakat dan cinta kepada aturan-aturan feodal itu. Kami mengetahui kejelekan-kejelekannya bagi rakyat. Kami hanyalah menunjukkan kepada rakyat, bahwa feodalisme kami hari dulu itu adalah feodalisme yang hidup, feodalisme yang tidak sakit-sakitan, feodalisme yang sehat dan bukan feodalisme yang penyakitann, – feodalisme yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan berkembang dan yang, umpamanya tidak diganggu hidupnya oleh imperialisme asing, niscaya bisa “meneruskan perjalanannya”, bisa “menyelesaikan evolusinya”, yakni niscaya bisa hamil dan akhirnya melahirkan suatu pergaulan hidup modern yang sehat pula![1]
Tetapi bagaimana pergaulan hidup kami hari sekarang ini? Bukan sehat, bukan penuh dengan kemungkinan-kemungkinan berkembang, tetapi sakit-sakitan, “kosong”. Pada permulaan, tatkala kami menggambarkan nasib rakyat Indonesia pada masa ini, tatkala kami menceritakan caranya imperialisme mengobrak-abrik pergaulan hidup kami itu, maka Tuan-tuan sudah mendapat sedikit pemandangan tentang keadaan hari sekarang itu, maka tuan-tuan sudah mendapat sedikit pemandangan tentang keadaan hari sekarang itu. Berhubung dengan sempitnya waktu, cukuplah sekian saja, tak perlulah kami tambah-tambahi. Tetapi perlu sekalilah kami terangkan di sini, bahwa keinsafan akan jeleknya nasib hari sekarang inilah yang paling menghidupkan rasa nasional rakyat.
Memang bukan saja bagi rakyat kami, tetapi bagi tiap-tiap rakyat lain dan tiap-tiap manusia, tiap-tiap makhluk yang bernyawa, pengetahuan akan suatu nasib yang jelek adalah sumber keinginan akan nasib yang lebih nyaman baginya. Tidak ada keinginan, tidak ada harapan, tidak ada nafsu, kalau tidak ada rasa tak puas dengan keadaan yang ada.
Itulah sebabnya, maka tiap-tiap perkumpulan atau tiap-tiap surat kabar di tiap-tiap negeri dan di tiap-tiap zaman, suka sekali “membongkar keadaan”, yakni suka sekali membeber-beberkan keadaan-keadaan yang ia tidak sukai. Jikalau AID de Preangerbode mengamuk perkara politik pemerintah sekarang atau perperkara pergerakan rakyat yang ia takuti, jikalau PEB geger membicarakan bahaya yang mengancam kepentingan imperialisme, jikalau Vaderlandsche Club memaki-maki ke kanan dan ke kiri, maka semua itu adalah oleh karena mereka tak senang akan keadaan sekarang dan oleh karena mereka dengan menyiarkan mereka punya ketidakpuasan atau ketidaksenangan itu, bermaksud membangunkan atau mengeraskan lagi keinginan, harapan, nafsu kaumnya akan keadaan yang lebih nyaman baginya. Begitu pula PSI, Budi Utomo, Pasundan dan perkumpulan atau surat kabar Indonesia mana pun juga, dengan mereka punya propaganda atau protes-protes tak lain daripada bermaksud menyebarkan mereka punya ketidaksenangan dan membesarkan lagi keinginan dan nafsu mereka punya kaum.
Nah, kalau PNI lebih menginsafkan lagi rakyat Indonesia akan kepahitan nasibnya hari sekarang itu, maka ia tak lain-pula dari bermaksud memperkeraskan lagi keinginan dan harapan rakyat itu akan keadaan-keadaan yang lebih layak. PNI mengetahui, bahwa keinginan dan harapan inilah yang menjadi pendorong nafsu berusaha, pendorong “nafsu mendirikan”, pendorong “nafsu mengadakan”. PNI mengerti, bahwa makin mendalam keinsafan rakyat akan getirnya nasib hari sekarang itu, membikin pula makin rajin dan makin maunya rakyat berusaha membanting tulang dan memeras tenaga untuk terkabulnya kesanggupan-kesanggupan hari kemudian yang indah itu, – mengerti, bahwa makin merasuk keinsafan akan perihnya hari sekarang itu di dalam daging dan sumsum rakyat, membikin lebih hidupnya rasa nasional, lebih berkobar-kobarnya nasionalisme positif yang memang sudah menyala!
Orang boleh menamakan ini menyebarkan “ketidaksenangan”, orang boleh menamakan ini “membikin pahit hati dan dendam hati pada rakyat”, orang boleh mengatakan kami penghasut, pembakar nafsu, ophitser, opruier – kami menjawab: apa bedanya perbuatan kami itu sebagai tadi kami terangkan, dengan perbuatan AID dna VC dan PEB dalam hakikatnya, apa bedanya dengan perbuatan PSI, BU, Pasundan dan lain-lain? Lagi pula: kami tidak pernah meninggalkan obyektifitas, kami tidak menyebarkan yang dinamakan “ketidaksenangan” itu untuk “ketidaksenangan”, kami tidak “membikin pahit hati dan dendam” untuk membangkitkan rasa kebencian dan rasa kedengkian atau nafsu-nafsu lain yang rendah, – kami menyebarkan yang dinamakan “ketidaksenangan” itu hanyalah untuk lebih menghidupkan dan lebih mengeraskan lagi keinginan rakyat akan keadaan yang lebih nyaman, lebih membesarkan kemuannya berusaha, lebih menyuburkan nasionalisme positif adanya. , ‘
Kami di sini ingat akan pidato Dr. Sun Yat Sen yang berkata: “Jikalau keadaan yang tadi saya gambarkan itu….benar, maka haruslah kita menanam di dalam ingatan kita, bagaimana berbahayanya kedudukan kita sekarang ini dan betapa gentingnya waktu yang sekarang kita jalani, barulah kita bisa mengetahui, bagaimana caranya menghidupkan kembali nasionalisme kita yang telah padam itu.” “jikalau kita mencoba menghidupkan kembali dengan tidak mengerti betul keadaan, maka akan hilangla segala harapan buat selama-lamanya dan bangsa Tionghoa akan binasa.” “kita sendiri harus mengetahui dulu keadaan-keadaan, kita harus mengerti bahwa bencana-bencana ini sangat mengancam, kita harus mendengungkannya ke mana-mana sehingga tiap orang menjadi insaf betapa besar kesedihan kita, jikalau bangsa kita sampai jatuh”.
“Apabila kita hendak mengobarkan nasionalisme, maka haruslah lebih dulu kita insafkan bangsa kita yang 400 juta itu, bahwa saat matinya sudah dekat!”[2]
Artinya: membikin rakyat insaf akan keadaannya yang sengsara itu, agar supaya nasionalismenya bangun dan ia mau bergerak, – itulah pengajaran pemimpin besar ini. Itulah yang kami kerjakan pula.
Ketidaksenangan yang memang ketidaksenangan, bukanlah bikinan kami; ketidaksenangan yang tulen dan asli itu, adalah bikinan imperialisme sendiri!
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, begitulah bagian yang pertama dan bagian yang kedua dari usaha PNI menyuburkan semangat nasional itu: membangunkan keinsafan akan hari dulu dan hari sekarang. Tentang bagian yang ketiga, yakni bagian menunjukkan keindahan sinar hari kemudian beserta cara-cara mencapainya, tentang bagian yang ketiga itu, kami, juga oleh sempitnya tempo, tak usahlah panjang kata: sebab, segenap usaha PNI akan pembentukan kekuasaan, segenap aksi PNI keluar dan ke dalam, segenap gerak-bangkitnya, ya, segenap jiwa raganya PNI, adalah cara-cara mendatangakan dan melaksanakan kesanggupan-kesanggupan hari kemudian itu. Dan akan bisanya rakyat Indonesia mencapainya, buat kami kaum PNI bukanlah teka-teki lagi: rakyat Indonesia yang dahulu begitu bersinar-sinar dan tinggi kebesarannya, meskipun sekarang sudah hampir sebagai bangkai, rakyat Indonesia itu pasti cukup kekuatan dan cukup kebisaan mendirikan gedung kebesaran pula di kelak kemudian hari, pasti bisa menaiki lagi ketinggian tingkat derajatnya yang sediakala, ya, melebihi lagi ketinggian tingakat itu!
Tetapi wujudnya hari kemudian?
Bagaimana wujudnya hari demikian itu?
Tidak ada satu manusia yang bisa menggambarkan hari kemudian dengan seksama. Tidak ada satu manusia yang bisa menetukan lebih dulu wujud hari kemudian menurut kemauannya. Tidak ada satu manusia yang bisa mendahului riwayat. Kita hanya bisa menetapkan ancer-ancerannya saja, kita hanya bisa mempelajari tendensinya. Misalnya kaum Marxis pun tak bisa menunjukkan wujudnya pergaulan hidup sosialistis dengan saksama, melainkan juga hanyalah bisa mengetahui garis-garisnya yang besar dan tendensnya belaka. Hari kemudian Indonesia kini hanyalah tampak sinarnya saja yang indah sebagai sinar fajar yang akan menyingsing, hanyalah kedengaran janji-janjinya saja sebagai merdunya gamelan pada malam terang bulan yang kedengaran dari jauhan. Sebagai di dalam cerita wayang sebelum ksatria Dananjaya datang, kita lebih dulu sudah melihat sinar tejanya dan sudah mendengar nyanyian burung-burung yang mengantarkan dan mengikutinya, – begitulah pula datangnya hari kemudian yang indah itu kini sudah dialamatkan lebih dulu kepada kita, yang menunggu-nunggunya dengan hati yang mengharap-harap. Kita sudah mendengar janji-janjinya akan rezeki berjuta-juta yang tidak diangkuti ke negeri lain, akan peri kehidupan rakyat yang karena itu, senang dan selamat, akan keadaan sosial yang sesuai dan memenuhi kebutuhannya, akan susunan hidup politik yang secara kerakyatan longgar, akan kemajuan seni, ilmu kebudayaan yang tak teralang-alang. Kita dengar janjinya akan datang suatu Republik Indonesia Serikat, yang hidup di dalam persobatan dan kehormatan dengan bangsa-bangsa lain, akan suatu bendera Indonesia yang menghiasi angkasa Timur. Kita mendengar janjinya akan suatu bangsa yang teguh dan sehat, ke luar dan ke dalam….
________________________________________
[1] Untuk mengerti kalimat-kalimat ini, orang harus ingat, pergaulan hidup itu “tidak diam”. Tetapi senantiasa hidup, senantiasa maju, senantiasa ber-evolusi.
[2] Dalam buku “San Min Chu I”.

Partai Nasional Indonesia (14)
Urat saraf pembentukan kekuasaan : Empat Macam
Tuan-tuan hakim yang terhormat, dengan menggambarkan tiga bagian tentang hari dulu, hari sekarang dan hari kemudian itu, maka kami sudahlah dengan singkat sekali menunjukkan usaha PNI tentang nyawanya pembentukan kekuasaan, yakni nasionalisme, kecintaan pada tanah air dan bangsa, rasa gembira atas kebahagiaannya, rasa mengeluh atas kemalangannya. Marilah kami sekarang menjawab pertanyaan, apakah urat-urat dan saraf-saraf pembentukan kekuasaan PNI itu. Urat-urat dan saraf-saraf pembentukan kekuasaan PNI adalah bertentangan dengan urat-urat dan saraf-saraf sistem imperialisme di sini. Urat-urat dan saraf-saraf sistem imperialisme yang terpenting adalah empat rupa:
Pertama : sistem imperialisme melahirkan politik divide et impera, yakni politik memecah-mecah;
Kedua : sistem imperialisme menetapkan rakyat Indonesia di dalam kemuduran;
Ketiga :sistem imperialisme membangunkan kepercayaan di dalam hati dan pikiran rakyat, bahwa bangsa kulit berwarna itu memang bangsa yang kurang “karat”nya, dan bahwa bangsa kulit putih memang “adhi-adhining” bangsa;
Keempat : Sistem imperialisme membangunkan kepercayaan di dalam hati dan pikiran rakyat pula, bahwa kepentingan-kepentingan rakyat itu adalah sesuai dan sama dengan kepentingan-kepentingan kaum imperialisme itu, sehingga rakyat itu jangan menjalankan politik selfhelp dan politik ingin merdeka, tetapi haruslah memeluk politik bersatu dengan kaum pertuanan, yakni politik asosiasi[1]
Nah, sama sekali bertentangan dengan politik divide et impera inilah, sama sekali bertentangan dengan politik yang menetapkan rakyat di dalam kemunduran; sama sekali berhadap-hadapan dengan politik yang bermaksud “memasukkan pikiran tentang kurang harganya bangsa berwarna dan tinggi harganya bangsa kulit putih”, sama sekali kontra politik asosiasi itulah urat-urat dan saraf-saraf pembentukan kekuasaan PNI.
a. Kontra politik memecah belah
PNI menjawab politik divide et impera itu dengan mendengungkan tekad persatuan Indonesia, menjawab politik yang memecah belah itu dengan dayanya mantram nasionalisme Indonesia yang merapatkan barisan. Dari zaman dulu sampai zaman sekarang, beradab-adablah rakyat kami itu kemasukan baji pemecah tak berhenti-hentinya, baik di zaman kompeni maupun di zaman modern. Memang di dalam perceraian dan di dalam ketidakrukunan itulah letaknya kelemahan kami, di dalam perceraian kami itulah letaknya kemenangan musuh. “Verdeel en heers”,[2] — itulah mantram tiap-tiap rakyat yang mau mengalahkan rakyat lain, mantram imperialisme di mana-mana zaman dan di mana-mana negeri. “Verdeel en heers” adalah mantram bangsa Roma yang memang penemu mantram itu, adalah mantram bangsa Spanyol dan Portugis di zaman dulu yang mengibarkan benderanya di negeri-negeri orang lain, adalah mantram bangsa Inggris mendirikan ia punya kerajaan dunia “British Empire”. Dengarlah bagaimana Prof. Seeley di dalam bukunya yang termashur “The Expansion of England” menceritakan “politik divide et impera” di India:
“Jikalau Inggris, yang bukan negeri militer itu, dengan sesungguhnya harus menguasai penduduk yang beberapa juta jumlahnya dengan suatu kekuatan militer Inggris, tak perlu dikatakan, bahwa beban yang sebesar itu melebihi kekuatan kami. Tapi tidaklah demikian halnya, oleh karena Inggris menaklukkan India dan tetap menguasainya terutama dengan bantuan pasukan-pasukan India dan dengan uang India…. Jika sekiranya di India bisa timbul suatu gerakan nasional, seperti yang kita lihat di italia dulu, maka kekuasaan Inggris belum lagi akan bisa memberikan perlawanan sekuat perlawanan Ustria di Italia, tapi segera tentu roboh”. “Suatu kumpulan orang seorang-seorang, yang tidak terikat oleh perasaan-perasaan dan kepentingan-kepentingan yang sama, mudah ditaklukkan, oleh karena mereka bisa diadu-dombakan.”
“Seperti Tuan lihat, pemberontakan itu sebagian besar bisa dipadamkan dengan jalan mengadu-dombakan rakyat India yang satu dengan yang lain.”[3]
Dan di Indonesia pun imperialisme-tua dan imperialisme-modern tak lupa akan kemajuan mantram itu; di Indonedia pun baji-pemecah tak berhenti-hentinya bekerja:
“- musuh-musuhnya yang paling berbahaya dilumpuhkannya sehingga hampir-hampir tidak bertenaga apa-apa lagi dengan menjalankan politik “divide et impera”;……..kemenangan-kemenangan yang paling gemilang didapatnya dengan senjata orang yang lemah, perhitungan yang licik dan tipu daya”-
begitulah Prof. Veth menggambarkan politik imperialisme-tua di Indonesia itu dan Clive Day menulis:
“Divide et impera”, itulah peribahasa asli yang dituruti apabila berhubungan dengan kerajaan-kerajaan anak negeri dan itulah asas yang dipakai buat sebagian besar oleh orang Belanda untuk mencapai hasil yang baik,”[4]
Imperialisme tua kini sudah mati; tetapi tidak matilah warisan yang diberikannya kepada imperialisme-modern, yakni warisan japa-mantram “divide et impera” yang ampuh, yang bertuah itu. Tidak sebagai dulu, dipakai menakluk-naklukkan dan melebar-lebarkan jajahan,–kini semua pulau sudah takluk, “pembulatan batas negara” (staatsafronding) sudah selesai,– tidak sebagai dulu dibarengi dengan gemerincingnya pedang, detusnya bedil dan gunturnya meriam, tetapi dipakai untuk mengekalkan apa yang sudah tercapai dengan melalui (menurut kata Stokvis) “jalan-jalan yang lebih sunyi”, “Stillere wegen”.
Memang, semua kepulauan sudah takluk, “pembulatan batas negara” sudah selesai, –lahirnya Indonesia dibikin satu, lahirnya diikat di dalam satu persatuan, tetapi “persatuan” ini, menurut perkataan seorang sosialis adalah suatu:
“persatuan yang ditaklukkan, yang hanya persatuan ketaklukkan belaka,”[5]
dan amboi…..janganlah batinnya menjadi satu, janganlah semangatnya kemasukan nasionalisme dan menjadi semangat bangsa! Sebab kaum imperialisme tahu, bahwa suatu rakyat yang tiada nasionalisme dan tiada semangat bangsa adalah sebagai Dr. Sun Yat Sen mengatakan, hanya “a sheet of loose sand” belaka, sebagai pasir yang meluruh dan ngeprul dan tiada hubungan satu sama lain, yang bisa ditiuptiupkan ke mana-mana dan bisa dikorek semau-maunya….,
Semangat, semangatlah yang terutama oleh sistem imperialisme-modern itu dijatuhi mantram, di-“pecah-pecah” supaya sistem itu bisa “memerintah” selama-lamanya. Semangatlah yang terutama dimasuki baji-pemecah agar supaya tidak bisa menjadi semangat nasionalisme yang masuk sebagai semen di dalam pasir yang ngeprul itu dan membikin daripada satu blok beton mahabesar yang tak bisa hancur walaupun dimeriam.
Kaum imperialisme-modern tak lupa akan wejangan karuhun-karuhunnya itu. Japamantram “divide et impera” tak lupa saban hari, saban jam dikemah-kemihkan. Bilaman India menyatakan diri adalah suatu bangsa yang ditaklukkan, “begitulah Prof. Seeley mengajarkan padanya,[6]
“Bilamana India menyatakan diri adalah….suatu bangsa yang ditaklukkan, kita pun segeralah tahu bahwa kita tidak mungkin akan bisa mempertahankannya”… “Apabila, oleh suatu sebab, penduduk mulai merasa tergolong dalam satu kebangsaan, maka saya tidak akan berkata ada alasan kita khawatir akan keselamatan pemerintahan kita; tidak, saya akan berkata: kita harus segera melepaskan segala harapan!”
________________________________________
[1] Bandingkan dengan pikiran-pikiran kami dengan pikiran-pikiran Moh.Hatta di dalam bukunya “Indonesia Vrij” (menuju Indonesia Merdeka) dan juga pikiran-pikiran Dr. Sun Yat Sen.
[2] Verdeel en heers= pecahkanlah, dan kuasai
[3] Sir John Robert Seeley dalam bukunya “The Expansion of England” terjemahan Steinmetz, hal.175, 204.
[4] Clive Day, dalam bukunya yang diterjemahkan ke bahasa Belanda oleh Bosboom dengan judul “Nederlandsch Beheer”, hal.29.
[5] Daan van der Zee dalam buku “De SDAP en Indonesiee” hal. 29.
[6] John R. Seely, ibid, hal. 204, 209.

Partai Nasional Indonesia (15)
“Segera melepaskan segala harapan!” “Onmiddellijk alle hoop opgeven!” Sesungguhnya, suatu ajaran yang mendahsyatkan! Tetapi, tidak, tidak usah dahsyat dan kurang tidur!
Sebab tidakkah cukup surat-surat kabar sebagai AID de Preangerbode, Java Bode, Nieuws van den Dag, de Locomotief, Soerabajaasch Hahdelsblad, dan lain-lain yang saban minggu, saban hari, biasa menebar-nebarkan benih pemecahan itu, berisi caci-maki atas tiap usaha persatuan dan atas tiap usaha membangunkan nasionalisme dari pihak “inlander” (bumiputra)? Tidakkah bahasa Indonesia, yakni bahasa persatuan akan lekas dihapuskan dari sekolah-sekolah dan tidakkah sistem pendidikan di sekolah-sekolah itu sudah membunuh tiap-tiap rasa kebangsaan?[1] Tidakkah masih ada seorang Colijn, yang dengan bukunya “Koloniale Vraagstukken van Heden en Morgen” mencoba mewujudkan asas divide et impera itu di dalam suatu susunan administrasi pemerintahan yang bernama “eilandgouvernementen”— pemerintahan sepulau-sepulau–, masih ada seorang De Kat Angelino yang membikin tebal yang penuh dengan lafal-lafal pembunuh nasionalisme Indonesia itu? Tidakkah masih ada seorang Couvreur, yang di dalam suatu nota memujikan kepada pemerintah:
“pembukaan Pulau Bali untuk missi dan pengkristenan penduduknya. Dengan begitu di masa depan akan didapat suatu pulau Bali yang beragama Room-Katolik, yang akan merupakan baji antara Jawa dan pulau-pulau di sebelah timur. Baji seperti itu sudah ada antara Aceh dan Minangkabau, yakni: negeri Batak yang sudah dikristenkan”,[2]
–tidakkah masih ada seorang Couvreur yang memujikan baji yang demikian itu, sehingga dari kalangan bangsa Indonesia-Kristen terdengar protes yang berbunyi:
“Astaga, suatu baji Kristen! Haruskah kita, bangsa Indonesia Kristen, yang meskipun berbeda agama dengan orang lain bangsa kita, adalah putra-putra Ibu Indonesia juga, — haruskah kita membiarkan agama kita yang suci itu dipakai buat maksud itu? Haruskah kita membiarkan agama Kristen yang luhur itu dipakai sebagai alat untuk mencegah persatuan kebangsaan kita dan untuk mengasingkan putra-putra Ibu Indonesia yang satu dari yang lain?”[3]
Pendek kata, tidakkah di mana-mana masih ada sistem, yang menjaminkan padamnya semangat itu dan menjaminkan kekalnya perceraian antara “Inlander” dengan “Inlander” itu?
Tetapi kami, yang ingin kuasa, kami pun tak usah kurang tidur! Kami pun kini mempunyai japa-mantram yang malahan nantinya tentu lebih ampuh daripada mantram divide et impera itu, kami pun tak sia-sia berguru di dalam pertapaan Sanghyang Merdeka, yang mewejangkan pada kami saktinya ilmu “bersatu kita teguh, bercerai kita jatuh!’ Kami pun memperhatikan, pula pengajaran Prof. Seely tadi itu, tetapi di dalam kami punya arti, di dalam kami punya makna!
Persatuan Indonesia, Tuan-Tuan Hakim, persatuan Indonesia, yang menggabungkan segenap rakyat Indonesia itu menjadi satu umat, satu bangsa, itulah urat dan saraf pembentukan kekuasaan PNI yang pertama.
b. Kontra kemuduran, yakni kontra dekadensi akal budi
Dan yang kedua? Urat saraf pembentukan kekuasaan kami yang kedua adalah kontra urat saraf sistem imperialisme yang kedua pula. Sistem imperialisme mau menetapkan rakyat kami di dalam kemunduran,– wahai, kami mau menjunjung rakyat kami daripada kemunduran itu! Kami mengetahui: kemunduran budi-akal rakyat adalah kepentingan sistem imperialisme di sini. Sebab imperialisme di sini bukanlah terutama imperialisme dagang: imperialisme di sini adalah sebagai kami terangkan di muka, yang paling hebat terutama di dalam shaktinya yang keempat, yang paling hebat di dalam mengusahakan Indonesia sebagai daerah pengusahaan dari kapital lebih. Ia adalah paling hebat di dalam usahanya sebagai industri-industri pertanian, industri pertambangan, industri biasa dan perusahaan lain-lain, – yakni semua perusahaan yang butuh akan kaum buruh murah, akan penyewaan tanah murah, akan kebutuhan-kebutuhan rakyat yang murah. Untuk kemurahan hal-hal ini, maka rakyat kami dibikin rakyat yang “hidup kecil” dan “nrima”, rendah pengetahuannya, lembek kemaluannya, sedikit nafsu-nafsunya, padam kegagahannya,– rakyat “kambing” yang bodoh dan mati energinya!
Di muka sudah kami beberkan penyelidikan Prof. Van Gelderen yang membuktikan kepentingan imperialisme ini atas kemunduran sosial-ekonomi rakyat; nah, kemunduran budi-akal pun, adalah kepentingannya!
Di dalam Welvaartsverslag[4] deel IX b 2, halaman 172, kami membaca:
“Rakyat desa dan kepalanya dan kampungnya dari dulu merupakan “si orang kecil”, si rendah bakti,…. yang oleh karenanya harus ditetapkan rendah selamanya, — pembayar pajak yang paling setia. Sebaliknya kaum priayi termasuk kaum yang memerintah dan untuk kepentingan umum perbedaan ini harus dibikin seterang-terangnya. Seluruh pergaulan hidup di sini berdiri atas dasar ini….Meskipun untung sekali orang makin baik memelihara kepentingan si kecil,…… ia harus tetap kecil!”
“Ia harus tetap kecil”, Tuan-tuan Hakim, — dia harus tetap “hidup kecil” dan “nrima”, tetap rakyat “kambing” yang harus menurut saja! Berpuluh tahun sistem ini bekerja, ya, berabad-abad sistem ini menjalankan pengaruhnya. Herankah Tuan-tuan, kalau Ny. Augusta de Wit di dalam bukunya “ Natuur en Menschen In Indie”’ menulis:
“Ketidakadilan sudah berjalan terlalu lama; akalbudi orang sudah tumbuh sesuai dengan itu, tumbuh kerut merut. Akal pikiran sudah menjadi bengkok dan kerdil, kemauan lemah terkulai.”[5]
Herankah Tuan-tuan, kalau PNI menuliskan perlawanan kepada dekadensi akal budi ini di atas panji-panjinya? Kami, kaum PNI, kami mencoba memberantas penyakit ini dengan mengadakan lebih banyak pendidikan rakyat, menyokong sekolah-sekolah rakyat, mengurangi buta huruf di kalangan rakyat. Kami mencoba membangkit-bangkitkan dan membesar-besarkan kemauan rakyat akan nasib yang lebih mirip nasib manusia, menyalakan lebih banyak nafsu-nafsu di dalam kalbu rakyat. Kami berusaha menghidup-hidupkan lagi kegagahan rakyat, tenaga kemauan rakyat, energi rakyat sebagai sediakala, –rakyat yang kini “sudah mati kutunya”’ itu, “rakyat kambing” yang menurut Prof. Veth:
“Semangat harimaunya sudah dijinakkan sampai kutu-kutunya”, karena “tak luput dari bekerjanya obat tidur penjajahan yang lama di bawah bangsa asing yang lebih kuat”![6]
Energi rakyat inilah salah satu urat saraf pembentukan kekuasaan kami, — salah satu urat saraf penolak daya imperialisme, tetapi terutama sekali ialah urat saraf pendorong rakyat ke depan!
________________________________________
[1] Melalui pendidikan pun kaum imperialis berusaha membunuh rasa kebangsaan, seperti usaha mereka di tahun tiga puluhan , setelah Kongres Pemuda 1928. Maka pemerintahan Belanda berusaha melarang penggunaan bahasa Indonesia, termasuk di sekolah swasta.
[2] Untuk memecahkan bangsa Indonesia, kaum imperialis menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, bahkan agama pun mereka peralat.
[3] Suluh Indonesia Muda, terbitan September-Oktober 1929 hal. 274/275.
[4] “Welvaartsverslag” Laporan mengenai Kemakmuran. Bab II b.a, hal. 172. Terbitan Lendgedrukrij 1905-1914, Batavia
[5] August de Wit (Ny) dalam buku Natuur en Menschen in Indie hal. 90, terbitan Goede en Goedkoope Lectuur, Amsterdam 1914,
[6] Veth dalam “Java” I, hal. 209.

Partai Nasional Indonesia (16)
C. Kontra penamaan kepercayaan, bahwa kami bangsa kelas kambing
Tuan-tuan Hakim, sempitnya tempo memaksa kami membicarakan urat saraf pembentukan kekuasaan PNI yang nomor tiga dengan cara yang sesingkat-singkatnya pula.
Urat saraf yang nomor tiga ini adalah bergandengan sekali dengan urat saraf nomor dua itu, yakni bergandengan sekali dengan urat saraf penolak daya yang mengambing-ngambingkan itu. Sebab sistem imperialisme di sini tidaklah berkepentingan saja atas kemunduran sosial ekonomi dan kemunduran akal budi rakyat kami itu, — sistem imperialisme di sini adalah pula berkepentingan atas halnya rakyat itu percaya, bahwa ia memang suatu rakyat kelas kambing.
Di atas sudah kami tunjukkan, bahwa kaum imperialisme itu, sebagai kaum imperialisme di mana-mana saja, adalah menutupi-maksudnya yang sebenar-benarnya. Mereka menutupi dengan macam-macam teori yang manis, mereka mengatakan bahwa maksudnya bukanlah urusan rezeki, bukanlah urusan yang begitu “kasar” – tetapi maksudnya adalah “mendidik” kami dari bodoh ke arah kemajuan, dari “tidak matang” dijadikan “matang”, pendek kata, mereka mau memenuhi suatu “suruhan suci”, yakni suatu “mission sacree”.
Mereka mengatakan, bahwa mereka itu tidaklah mendapat keuntungan apa-apa, tidaklah mendapat manfaat apa-apa, melainkan malahan mendapat rugi belaka, malahan mendapat beban belaka, — yakni malahan mendapat “burden”, “white man’s burden”[1] menjunjung dan memikul kami ke atas kemajuan!
Maka untuk “lakunya” teori “mission sacree” ini, untuk “lakunya” teori ‘white mans’burden” itu, perlu sekalilah kaum kulit coklat itu dimasukkan ke dalam kepercayaan, bahwa mereka dalam hakikatnya memang suatu bangsa inferieur atau “kurang karatnya”, bahwa sebaliknya bangsa kulit putih adalah bangsa yang memang superieur, bangsa yang memang “adhi adhining” bangsa, — dan bahwa karena itu sudah semestinya bangsa yang “inferieur” ini harus “dituntun” oleh bangsa yang “superieur” itu dengan …….imperialismenya!
“itu Tuan-tuan rambut jagung,” – begitulah Karl Kautsky di dalam bukunya tentang suku bangsa dan bangsa Yahudi menggambarkan pendirian bangsa “rambut jagung” itu terhadap bangsa Yahudi:
“itu Tuan-tuan rambut jagung mengunggul-unggulkan diri sendiri sebagai orang yang paling budiman, paling mulia hati dan paling kuat, kepada siapa orang lain harus mengabdikan diri”,[2]
dan adakah pendiriannya terhadap bangsa-bangsa Asia berbeda, adakah pendiriannya terhadap bangsa kami berlainan? Tidak, tidak berbeda, tidak berlainan, — tidak kurang kerasnya di Indonesia bekerja sistem menanamkan kepercayaa dalam hati kalbu rakyat, bahwa mereka memang superieur, kam memang inferieur, — tidak kurang kerasnya di sini menyala kesombongan si kulit putih, tidak kurang kerasnya di sini merajalela rasa “Iyeu aing uyah kidul!”
Pastor van Lith, orang alim yang tulus hati itu, belum lama berselang di dalam buku kecilnya yang termashur[3], menulis:
“Tetapi, walaupun mereka itu sama sekali tidak termasuk golongan pencuri-pencuri cengkeh pada waktu dulu, mereka ikut menerima warisannya. Mereka semua menerima bagian dari warisan kompeni yang termashur itu. Mereka itu datang di Hindia sebagai turunan Tuan-tuan yang XVII yang mahakuasa itu, sebagai putra-putra yang memerintah, dengan kesombongan turunan yang memerintah terhadap yang diperintah. Barangkali mereka itu tidak sadar akan kesombongannya, tetapi mereka mempunyai sifat itu. Barangkali mereka tidak sombong tatkala berangkat dari negeri Belanda, mungkin sekali; tapi apabila mereka sudah tiba di Hindia, maka mereka tidak luput dari kesombongan itu. Keadaan di sekitarnya mempengaruhi mereka. Yang seorang banyak, yang lain kurangan, tapi semua mereka terjangkiti sebagian oelh penyakit kesombongan bangsa itu. Pergaulan hidup Belanda seperti yang sekarang hidup terus di….Hindia, adalah penerusan perusahaan dagang kompeni dulu, dan tiap orang Belanda, biarpun dia katolik, ….hidup dalam suasana kedai rempah-rempah yang besar itu…..dan hidup untuk keperluan perusahaan yang besar itu, hidupnya sendiri dan keselamatannya sendiri tergantung kepada terus hidupnya dan suburnya perusahaan itu.”
Lebih terang sebagai di sini, tidak bisalah dinyatakan, bahwa rasa keunggulan itu adalah salah satu urat saraf dari perusahaan besar “reuzen-onderneming” itu. Memang, tidak kurang-kuranglah kita mendengar cacian “Inlander seperti kerbau”, “inlander goblok”, “inlander bodoh, kalau nggak ada kita modar lu”, beserta lain-lain “pujian” lagi yang “segar”! Tetapi, walaupun begitu, bukan terutama dalam ucapan-ucapan sombong orang Eropa itu letaknya bahaya yang terbesar buat kami, bukan terutama di dalam ketinggian hati suatu bangsa kulit putih itu letaknya bencana batin dari rakyat kami, — bahaya yang paling besar dan bencana yang paling merusak adalah sistem yang tak pedot-pedot , yang tak terhambat-hambat menginjeksikan kepada rakyat kami racun kepercayaan “kamu Inlander bodoh, kamu modar kalau tidak kita tuntun” itu. Sebab injeksi ini lama-lama “makan”! Berabad-abad kami mendapat cekokan “inlander bodoh”, berabad-abad kami diinjeksi rasa kurang karat; turun temurun kami menerima sistem ini, ketambahan lagi kami ditetapkan “rendah” dan ditetapkan “kecil” sebagai laporan tentang kemakmuran itu tadi mengatakan , dipadam-padamkan segenap energi kami, sekarang percayalah kebanyakan bangsa kami, bahwa kami, sesungguhnya , memang adalah bangsa kurang karat yang tak bisa apa-apa! Hilanglah tiap-tiap kepercayaan atas kebisaan sendiri, hilanglah” tiap-tiap rasa kegagahan, hilanglah tiap-tiap rasa percaya pada diri sendiri dan keperwiraan. Kami, sediakala adalah bangsa yang ikut menjunjung tinggi obor kebudayaa Timur dan kebesaran Timur, yang dulu begitu insaf akan kebisaan diri dan kepandaian diri, kami sekarang menjadi rakyat yang sama sekali hilang keinsafan itu. Kami menjadilah kini rakyat yang mengira, ya, percaya, bahwa kami memang adalah rakyat yang “inferieur”. Kini di mana-mana terdengarlah kesah: “yah, kami memang bodoh kalau tidak ada bangsa Eropa, bagaimana kami bisa hidup!”
O, Tuan-tuan Hakim, bagaimana baiknya kalau kami bisa membongkar bencana batin yang demikian ini! Bagaimana baiknya kalau kami bisa menanamkan lagi dengan sekejap mata saja “wahyu Cakraningrat” yang meniadakan rantai roh yang mengikat itu! Tuan-tuan tentu mengerti bahwa perasaan “memang kurang karat” atau perasaan inferioriteit itu adalah racun bagi kemajuan tiap-tiap bangsa, rem yang sejahat-jahatnya bagi gerak suburnya atau evolusi tiap-tiap rakyat.
Herankah Tuan-tuan , kalau Tuan melihat PNI membanting tulang memberantas perasaan inferioriteit, memeras keringat dan tenaganya memberantas segala perasaan “ini tak bisa itu tak bisa” ini, memboongkar teori “mission sacree” dan “white man’s burden” dengan akar-akarnya, — mengembalikan lagi kepercayaan di dalam kalbu rakyat, bahwa bangsa kami, asal saja diberi kesempatan, mempunyai kebisaan-kebisaan yang tak kalah dengan kebisaan-kebisaan bangsa lain? Herankah Tuan-tuan, kalau melihat PNI membongkar-bongkar kebohongan kata, bahwa dunia Timur akan menjadi biadab sama sekali, kalau tidak ada dunia Barat? Tidak, bagi kami kaum Partai Nasional Indonesia bagi kami tidaklah syak wasangka lagi, bahwa “inferioriteit” atau “kebodohan” kami itu bukanlah “inferioriteit’ dan kebodohan” yang memang sifat hakikat asli bangsa kulit berwarna, tetapi hanyalah “inferioriteit” dan kebodohan” yang terbikin dan terinjeksikan belaka, — tidaklah pula kami syak wasangka lagi atas kebenaran kalimat Karl Kautsky yang memang kami sudah dalilkan itu yakni kalimat:
“tetapi orang yang tidak punya apa-apa dengan sendirinya kekurangan pula alat-alat peradaban, jadi juga kekurangan peradaban,”
dan bahwa teori “mission sacree” itu hanyalah benar di dalam lahirnya saja, hanya.
“Seolah-olah saja peradaban berkuasa atas kebiadaban!”[4]
Lahirnya saja, Tuan-tuan Hakim, lahirnya!
Lahirnya saja kami bangsa yang kurang karat, lahirnya saja kaum imperialisme kaum yang lebih superieur di dalam hakikatnya. Memberantas pandangan yang salah ini, memberantas rasa kurang karat, itulah kami punya urat saraf pembentukan kekuasaan yang ketiga. Dengan memberantaas rasa kurang karat itu, maka PNI menaruh salah satu syarat yang terpenting bagi politiknya “percaya pada diri sendiri”, “bekerja sendiri untuk sendiri”, — yakni syarat bagi politiknya “self-reliance” atau “self-help”!
________________________________________
[1] White man’s burden = beban si kulit putih
[2] Karl Kautsky dalam proses pengadilan Sneevliet tahun 1917.
[3] F. Van Lith dalam bukunya “De Politiek Van Nederland ten opzichte van Nederlandsch-Indie” Ibid hal. 11.
[4] Karl kautsky dalam “Sozialismus und Kolonial-politik” hal. 19.

Partai Nasional Indonesia (17)
d. kontra politik persatuan dengan kaum sana
Marilah kami sekarang membicarakan urat saraf pembentukan kekuasaan kami yang keempat. Juga di sini kami bisa singkat kata. Sebab tadi sudah kami terangkan, bahwa di dalam tiap-tiap negeri jajahan ada pertentangan kepentingan antara kaum imperialisme dan Bumiputra, di atas tiap-tiap lapangan, baik lapangan ekonomi, maupun lapangan sosial, baik lapangan politik maupun lapangan apa saja pun. Tak benarlah ajaran kaum imperialisme bahwa kedua pihak itu mempunyai persamaan kepentingan, dan oleh karenanya, tak benarlah pula ajarannya, bahwa sebab itu, jajahan harus selamanya bersatu dengan “negeri induk” dan bahwa sebab itu, kami harus menjalankan politik bersatu dengan kaum sana, yakni politik asosiasi.
Tidak, PNI tidak mau mengakui persamaan kepentingan itu, tidak mau menjalankan politik asosiasi itu. PNI adalah teguh di dalam keyakinanny, bahwa di sini ada pertentangan kepentingan, ada antitese kepentingan, sebagaimana pula diakui oleh banyak kaum Eropa yang tulus hati. PNI teguh di dalam keyakinannya, bahwa dengan adanya pertentangan kepentingan itu tidak ada satu jajahan yang bisa membereskan semua pergaulan hidupnya dengan sempurna, kalau pertentangan kepentingan itu belum berhenti adanya,– yakni kalau jajahan itu belum berhenti menjadi jajahan! PNI adalah karena partai kemerdekaan,– partai kemerdekaan nasional. Dan kemerdekaan tidak akan “dihadiahkan” oleh imperialisme yang sekarang berusaha “mematangkan” kami dulu, sebab kemerdekaan adalah ruginya imperialisme itu. Kemerdekaan adalah hasil yang kami sendiri harus usahakan, yang kami sendiri harus lahirkan, yang kami sendiri harus ciptakan dan pujikan! Politik asosiasi adalah bertentangan dengan faham kepribadian ini, politik asosiasi adalah mengeruhkan keadaan. Di dalam suatu jajahan ada antitesa kepentingan, – nah, politik kami haruslah berdiri, di atas antitese itu juga. Siapa orang Indonesia yang tidak berdiri di atas antitesa ini di dalam politiknya, ia adalah ngelamun! PNI tidak mau ngelamun, PNI tidak mau terapung-apung di atas awan angan-angan, – PNI mau berdiri di atas keadaan yang sebenarnya, di atas realiteit. Tidak, bukan politik asosiasi, tetapi politik antitesalah yang menjadi urat saraf pembentukan kekuasaan PNI yang keempat. Dengan politik antitesa ini, maka ia menarik garis yang terang antara sini dan sana, memisahkan golongan sini dari golongan sana, — menjernihkan keadaan menjadi sejernih-jernihnya!
Badan Lahirnya Pembentukan Kekuasaan
Tuan-tuan Hakim, kami sekarang tinggal menerangkan satu hal lagi dari pembentukan kekuasaan kami. Kami sudah menerangkan, nyawa pembentukan kekuasaan kami, yakni nasioalisme. Kami sudah menerangkan pula urat-urat dan saraf-saraf pembentukan kekuasaan itu, yakni persatuan Indonesia, memerangi kemunduran akal budi rakyat, memberantas perasaan rendah diri, menjalankan politik antitesa. Kami sekarang harus menerangkan anggota-anggota pembentukan kekuasaan kami itu, – badan lahirnya, badan wadagnya.
Badan lahirnya pembentukan kekuasaan PNI?
Badan lahir pembentukan kekuasaan PNI sebagai yang diinginkannya, adalah massa.[1] Idam-idaman PNI bukanlah satu partai dari puluhan atau ratusan orang saja, bukanlah perkumpulan segundukan kaum “politikus salon” saja yang pekerjaannya sehari-hari hanya menggurutu saja, -idam-idaman PNI ialah suatu pergerakan massa yang sehebat-hebatnya, suatu massa-aksi, yang membangkitkan ribuan, laksaan, ketian, ya, milyunan rakyat tua muda, laki-perempuan, pandai-bodoh, menak dan somah! Hanya dengan massa-aksi yang demikian itulah, menurut keyakinannya, pembentukan kekuasaannya bisa menjadi sempurna. Hanya dengan massa-aksi yang sebagai banjir yang mahakuasa dan tak dapat dicegah majunya., massa-aksi yang sebagai gelombang melimpahi seluruh Indonesia, dari Aceh sampai ke Fak-fak, hanya dengan massa-aksi yang begitu, pembentukan kekuasaannya bisa menjadi kekuasaan yang sebenar-benarnya. Air-air Indonesia yang tenag sejak berwindu-windu, air-air Indonesia itu PNI ingin mengalirkannya, sumber sambung sumber, sungai sambung sungai, samudra sambung samudra, sehingga kahirnya menjadi aliran yang mahalebar dan mahatinggi, bergelombang-gelombang menuju ke satu arah. Dengan badan lahir yang sebagai raksasa itu, dengan urat saraf empat shakti sebagai yang tadi tadi kami terangkan, dengan nyawa nasionalisme yang berkobar-kobar di dalam kalbu maka sepanjang idam-idaman PNI pembentukan kekuasaannya menjadilah sebagai Krishna Tiwikrama,–hebat, tidak teralahkan!
________________________________________
[1] Yang dimaksud massa, yakni rakyat jelata yang berjuta-juta itu.

Partai Nasional Indonesia (18)
Massa-aksi
Krishna Tiwikrama! Jadi toh revolusi, jadi toh hamuk sebagai “hamuk Jayabinangun”, jadi toh huru hara atau setidak-tidaknya menjungkirkan hukum?
Bukan, sekali lagi bukan!
Bukan pelanggaran hukum atau revolusi, — tetapi suatu massa-aksi yang aman tetapi hebat, suatu massa-aksi yang teratur tetapi dahsyat, sebagai misalnya massa-aksi SDAP “tatkala dua puluh tahun yang lalu, berjuang merebut hak pilih umum. Adakah di dalam massa-aksi SDAP pada waktu itu, tatkala puluhan, ratusan ribu manusia bergerak, bom-boman atau dinamit-dinamitan, pengrusakan keamanan umum, pelanggaran kekuassan pemerintah? Adakah SDAP di dalam massa-aksi untuk hak pilih itu mengalirkan darah, adakah pemimpin-pemimpinnya kena hukuman lantaran melanggar pasal ini atau pasal itu?
Tuan-tuan Hakim, rakyat Belanda sekarang merasa besar hatilah atas kemenangan demokrasi itu; kami pun ikut mengucap syukur atasnya, kami pun ikut berseru: “bahagia, bahagialah kamu dengan hak pilih umum itu, hai, bangsa Belanda!” – Tetapi……marilah kita ingat sebentar, bagaimana rakyat Belanda itu caranya mendatangka hak pilih umum itu, bagaimana caranya kemenangan demokrasi itu didatangkan! Tak lain tak bukan,–dengan massa aksi! Dengan massa-aksi yang bergelombang-gelombang melimpah seluruh negeri Belanda, membangkitkan seluruh energinya rakyat, mengelektrisasi sekujur badannya bangsa, — massa aksi yang hebat dan kini tertulis dengan huruf emas di dalam buku riwayat bangsa Belanda dan mendatangkan aturan pemerintah yang modern!
Massa-aksi yang demikian hebatnya itulah yang diidam-idamkan oleh PNI, massa-aksi yang hebat dan mahakuasa, yang juga menggetarkan seluruh tubuhnya rakyat dan juga mengelektrisasi sekujur badannya bangsa,–massa aksi yang bergelombang-gelombang menuju ke arah maksudnya, tidak dengan bermaksud – iseng-iseng langgar-langgaran undang-undang sebagai yang dituduhkan kepada kami dalam proses ini, tidak pula dengan senjata bom atau bedil atau gas racun atau “ramai-ramaian” apapun juga, melainkan hanyalah dengan senjata semangat yang berupa nasionalisme beserta empat urat saraf itu tadi saja, sebab senjata semangat ini, asal sudah cukup mengasahnya, sudah bisalah membikin kami mahasakti dan tak dapat ditundukkan, yakni bisa membangkitkan desakan “kekerasan batin”, moreel geweld, yang mahabesar, sehingga maksud kami tentu dapat tercapai!
Kami kembali lagi: badan lahirnya pembentukan kekuasaan PNI kami cari di dalam rakyat murba yang berjuta-juta itu, di dalam masa yang berkerumun-kerumun sebagai semut.
Aha! AID sering menulis atau saksi Albreghs ala Colijn berkata- jadi, gantinya PKI, jadi, gantinya, Gombinis”!! Satu “logika” lagi yang kocak, Tuan-tuan Hakim!
“Logis”, bukan? PNI didirikan tidak lama sesudah PKI mati PNI sering menunjukkan sikap anti-imperialisme sebagai PKI, PNI mau menggerakkan massa sebagai PKI, jadi PNI sama dengan PKI, jadi, merah putih kepala banteng sama dengan merah martil arit, jadi, nasionalis Indonesia sama dengan “Gombinis”!
Walaupun begitu, — walaupun “logika” yang begitu “logis” itu,– PNI bukan “Gombinis”! PNI memang didirikan di dalam tahun 1927, memang anti-imperialisme, memang suatu partai massa, memang suatu partai yang kromoistis dan marhaenistis, memang dikhawatirkan oleh dr. Cpito akan lekas dituduh dan ditindas sebagai gantinya PKI, tetapi bukan “Gombinis”, PNI bukan “heimelijke opvolgster”[1] dari Partai Komunis Indonesia!
PNI adalah suatu partai nasionalisme revolusioner sebagai yang kami terangkan tadi, dan massaisme, kromoisme, marhaenisme PNI tidakklah karena faham “Gombinis”, melainkan ialah karena susunan pergaulan hidup Indoesia yang memang menyuruh PNI memeluk kromoisme dan marhaenisme itu!
________________________________________
[1] Pemerintah Belanda memang selalu menuduh PNI adalah lanjutan dari PKI, seperti surat pendakwaan terhadap Bung Karno di sana tertulis bahwa PNI adalah “helmeyke opvolgster” dari PKI, artinya bahwa PNI adalah gantinya PKI dengan sembunyi-sembunyi.