http://www.berita rakyat miskin.beras.blogspot.com
hotline : 081914444997


dpksrmi_kendal2013@yahoo.com

Selasa, 10 April 2012

Cara Bung Karno Membangkitkan Nasionalisme

Banyak kalangan yang mengusulkan perlunya membangkitkan nasionalisme. Berbagai seminar, diskusi, penelitian, dan kegiatan dibuat untuk tujuan itu. Akan tetapi, seperti kita ketahui, sebagian besar proyek itu mengalami kegagalan.

Dahulu, di jaman pergerakan anti-kolonialisme, proses pembangkitan nasionalisme berhasil dilakukan. Maklum, pada jaman itu, rakyat kita berhadapan dengan musuh yang jelas dan penindasan yang juga sangat terang.

Namun, bukankah sekarang problem penjajahan juga terang. Para pengamat, juga politisi dan aktivis, ramai-ramai berbicara tentang penjajahan gaya baru. Bahkan mantan Presiden RI, BJ Habibie, pernah menyinggung istilah ‘VOC berbaju baru’. Ya, baju baru kolonialisme sekarang adalah Neoliberalisme.

Bung Karno, salah seorang motor pergerakan nasional jaman itu, ternyata punya rumus bagaimana membangkitkan nasionalisme itu. Sebab, tidak seperti di pikirkan banyak orang, membangkitkan nasionalisme jaman itu juga bukan perkara gampang; ini membangkitkan nasionalisme rakyat yang ratusan tahun tertidur.

Bung Karno pun mengajukan tiga rumus:

Pertama, menunjukkan kepada rakyat tentang masa lampau yang gemilang.

Kolonialisme membuat rakyat kita patah harapan. Tidak sedikit yang menganggap penjajahan sebagai sesuatu yang sudah ‘hukum alam’. Bahkan tidak sedikit pula yang percaya kolonialisme sebagai proyek ‘memberadabkan’ nusantara.

Karena itu, guna membangkitkan nasionalisme rakyat, Bung Karno berbicara tentang masa lampau yang gemilang. Ia berbicara tentang masa keemasan kerajaan-kerajaan nusantara, seperti Sriwijaya, Singasari, dan Majapahit.

Bung Karno berbicara tentang masa kejayaan nusantara yang diakui oleh bangsa-bangsa lain, seperti Tiongkok, Persia, dan Madagaskar. Namun, tidak sedikit yang mencibir sikap Bung Karno ini.

Banyak yang menuding Bung Karno hendak menghidupkan jaman feudal. Tan Malaka, misalnya, menganggap ‘pengingatan tentang masa lampau yang gemilang’ sebagai tindakan kolot dan sudah berkarat.

Namun, di mata Bung Karno, ‘pembangkitan masa lampau’ itu bukanlah menghidupkan jaman feudal, melainkan menunjukkan bahwa nusantara punya potensi berkembang menjadi bangsa modern. Hanya saja, proses itu diganggu dan dihentikan oleh kolonialisme, sehingga perkembangan positif itu terhenti.

Kedua, menyadarkan rakyat tentang keadaan sekarang ini (penjajahan) sebagai jaman kegelapan.

Dalam urusan bongkar-membongkar kejahatan kolonialisme, mungkin Bung Karno adalah salah seorang ahlinya. Ia banyak sekali menulis karya-karya yang mengupas imperialisme dan kejahatan-kejahatannya.

Di dalam tulisan-tulisan itu, Bung Karno menyertakan data-data untuk menyakinkan orang tentang realitas penindasan itu. Ia menulis, misalnya, berapa kekayaan alam Indonesia yang diangkut oleh kolonialis.

Bung Karno mengatakan: “kesengsaraan itu bukan ‘omong kosong’ atau ‘hasutan kaum penghasut’. Kesengsaraan itu adalah suatu kenyataan atau realitet yang gampang dibuktikan dengan angka-angka.

Bung Karno juga sangat pandai menggali istilah yang tepat untuk menggambarkan penderitan rakyat Indonesia. Salah satunya Bung Karno mengatakan: “rakyat Indonesia hidup segobang sehari (2,5 sen).”

Ketiga, memperlihatkan masa depan yang berseri-seri dan gemilang.

Nah, di sini ada sedikit masalah, sebab tidak ada orang yang bisa memastikan keadaan masa depan. Paling-paling, kata Bung Karno, orang hanya bisa memberikan gambaran-gambaran saja.

Kaum marxist pun, kata Bung Karno, akan kesulitan menggambarkan masyarakat sosialis secara seksama. Paling-paling, kata Bung Karno, orang marxist menggambarkan kecenderungan-kecenderungan masyarakat sosialis saja.

Karenanya, yang paling bisa dilakukan cuma menebarkan janji-janji: kemakmuran, keadilan sosial, demokrasi, kemajuan seni dan budaya, dan lain-lain. Namun, proses merealisasikan janji-janji itu memerlukan perjuangan.

Nah, rumus Bung Karno membangkitkan nasionalisme itu bisa diringkas sebagai berikut: “rakyat Indonesia yang dahulu begitu bersinar-sinar dan tinggi kebesarannya, meskipun sekarang sudah hampir menjadi bangkai, rakyat Indonesia itu pasti cukup kekuatan dan cukup kebisaan mendirikan gedung kebesaran pula kelak di kemudian hari, pasti bisa menaiki lagi ketinggian tingkat derajatnya yang sediakala, ya, melebihi lagi tingkat ketinggian itu!”

Bung Karno menunjukkan bahwa masa depan bangsa Indonesia adalah tata masyarakat adil dan makmur, yaitu sosialisme Indonesia. Akan tetapi, sebelum menuju ke sana, terlebih dahulu harus dihilangkan penghalang-penghalangnya: stelsel (sistem) yang menghisap kaum marhaen, yakni kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Pendek kata, nasionalisme ala Bung Karno, yang sering disebut sosio-nasionalisme, bercita-cita menjadikan sosialisme Indonesia sebagai “terminus ad quem” (titik yang dituju).

Dengan demikian, proyek nasionalisme Indonesia adalah proyek jangka panjang yang disertai perjuangan. Itulah yang membedakannya dengan proyek nasionalis sekarang: sebuah proyek jangka pendek, yakni sekedar ‘merek dagang’ politik untuk pesta demokrasi lima tahunan.

IRA KUSUMAH

Venezuela Kembali Naikkan Upah Minimum 30%

Presiden Venezuela, Hugo Chavez, kembali berencana menaikkan upah minimum negeri itu sebesar 32,25% pada 1 Mei mendatang. Konon, kebijakan ini akan berdampak langsung kepada 3 juta keluarga di Venezuela.


Chavez menjelaskan, kenaikan upah itu akan berlangsung dalam dua tahap dan masing-masing naik 15%. Kenaikan 15% pertama direncanakan pada Mei mendatang, yang akan menaikkan rata-rata upah dari 1.548 bolivar ($ 360) per bulan menjadi 1,780.45 bolivar (sekitar $ 418).

Kenaikan kedua direnacakan pada bulan September, dimana upah minum di Venezuela menjadi 2,047.52 bolivares ($476). Dengan demikian, kenaikan upah minum Venezuela menjadi 32,25%.

Dengan kenaikan upah ini, maka Venezuela menjadi negara dengan upah minimum tertinggi di Amerika Latin. Ditambahkan bantuan pemerintah berupa voucher makan, dan manfaat lain yang diterima rakyat dari kebijakan sosial pemerintah, maka total upah yang diterima pekerja Venezuela perbulan mencapai 700 dollar AS.

Untuk membayar kenaikan upah ini, kata Chavez, pemerintah Venezuela membutuhkan anggaran sebesar 20.050.678 bolivar, atau setara dengan 4 milyar dollar. Dan, semua anggaran itu rencananya didapatkan dari pendapatan minyak dan pajak.

“Kebijakan yang menguntungkan kaum buruh adalah bagian dari kebijakan redistribusi pendapatan nasional, guna mencapai kesetaraan secara subtantif,” kata Hugo Chavez.

Selama tahun 80-an dan 90-an, kenaikan upah minimum di Venezuela dibekukan oleh pemerintah sayap kanan. Akibatnya, inflasi melonjak di atas 100% pertahun.

“Di tahun 1999, ketika kami berkuasa, 65% dari mereka yang bekerja di sektor formal mendapat upah minimum. Sementara pada tahun 2010, 21% pekerja mendapat upah minimum. Angka ini sangat signifikan untuk mengukur evolusi revolusi,” kata Chavez.

Belum lagi, Venezuela telah memperluas pemberian uang pensiun kepada mereka yang diluar sektor publik, yakni kepada lansia, pahlawan olahraga, petani, dan nelayan. Belum lagi sejumlah misi sosial yang diberikan langsung kepada rakyat.

“Setiap tahun, tanpa gagal, revolusi selalu menaikkan upah minimum, sebagai cara membangun keadilan sosial yang solid. Inilah mengapa Venezuela menjadi salah satu negara dengan tingkat ketidaksetaraan paling kecil di seluruh dunia,” kata Chavez.

Setiap tahun, pemerintahan sosialis Venezuela selalu menaikkan upah minimum. Rata-rata kenaikannya pun tidak kecil: rata-rata di atas 20%. Pada tahun 2011, misalnya, Venezuela juga menaikkan upah minimum sebesar 26,5%.

Jika diperbandingkan antara upah buruh di Indonesia dengan di Venezuela, maka tentu upah buruh Indonesia tertinggal jauh dari upah kaum buruh di Venezuela. Jika dirupiahkan, upah minimum pekerja di Venezuela berkisar Rp.4.200.000. Angka ini hampir tiga kali dari upah minimum buruh di Jakarta.

Belum lagi, jika ditambah dengan voucher makanan dan insentif lain, maka total upah buruh di Venezuela mencapai Rp6.300.000. Itu berarti lebih dari empat kali lipat upah buruh di Jakarta.

Untuk diketahui, harga bahan makanan di Venezuela juga murah. Pemerintah memberlakukan UU harga adil untuk mengatur harga barang agar tetap dijangkau rakyat. Venezuela juga mendirikan toko-toko sembako murah yang disubsidi pemerintah di seantero negeri.

Ini patut jadi contoh bagi Indonesia. Di Venezuela, rakyat tidak harus menggelar demonstrasi untuk kenaikan upah. Tetapi, pemerintahan yang berhaluan kiri-sosialis ini lansung yang menaikkan upah. Kenapa demikian? Karena pemerintahan di Venezuela adalah pemerintahan kerakyatan.

RAYMOND SAMUEL

Kembali kepada UUD 1945 yang asli

UUD 1945 termasuk salah satu konstitusi progressif di dunia. Di dalamnya terdapat semangat anti-kolonialisme dan pro-kesejahteraan sosial. Pasca reformasi, seiring dengan menguatnya angin liberalisme, UUD 1945 mengalami empat kali amandemen. Banyak yang berubah: UUD 1945 tidak asli lagi…

Satu hal yang patut dicatat dari amandemen itu: yang terjadi bukan proses melengkapi UUD 1945 itu agar senafas dengan kemajuan jaman, tetapi justru upaya mengotak-atik isinya dan membuang segala fondasinya yang berbau anti-kolonialisme dan pro kesejahteraan rakyat.

Hasilnya pun gampang ditebak. Sejak amandemen, kita menemui kembali bentuk-bentuk kolonialisme lama, yang dulu diperangi founding father kita, dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi, politik, dan budaya.

Pengaturan ekonomi oleh negara dihilangkan: liberalisasi perdagangan, deregulasi, dan privatisasi. Model pengelolaan kekayaan alam dan sumber daya nasional pun berorientasi keluar (asing). Tujuan kegiatan ekonomi adalah keuntungan bagi usaha perseorangan, bukan lagi kemakmuran rakyat. Kita bukan lagi warga negara, tetapi sudah menjadi warga pasar.

Dalam politik juga terjadi demikian. Sistim pemerintahan kita menjadi penyokong kuat otonomisme yang hanya membesarkan raja-raja kecil di daerah dan mempermudah penetrasi modal asing di seluruh pelosok negeri. Parlemen kita hanya menampung pemburu kekuasaan dan pencari popularitas. Politik kita sekarang ini mirip dengan politik kolonial: politik yang mengabdi kepada kepentingan segelintir elit dan mengabaikan mayoritas rakyat.

Kehancuran budaya jauh lebih parah lagi. Semangat kolektivisme, yang menjadi ciri bangsa kita sejak dulu, telah hancur digerus oleh konsumerisme dan semangat mementingan diri sendiri. Kecintaan kepada negeri dan rakyat sudah berganti menjadi pemujaan terhadap komoditas.

Amandemen UUD 1945 salah kaprah. Alih-alih mengikut semangat reformasi, amandemen justru menjadi “kuda tunggangan” agenda neo-kolonialisme. Yang dituntut reformasi adalah adendum, yaitu penambahan klausul tanpa mengubah naskah aslinya, tetapi yang dijalankan oleh kaum reformis—yang dibelakangnya adalah lembaga-lembaga asing—mengubah substansi UUD 1945. Yang bermasalah kan cuma soal masa jabatan Presiden, tetapi kenapa Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan diobrak-abrik juga.

Sebagai respon atas berbagai problematika bangsa itu, muncullah keinginan untuk kembali kepada semangat UUD 1945 yang asli. Akan tetapi, sebagian orang picik—khususnya klas menengah dan intelektual salon—berteriak “hati-hati dengan orde baru dan tentara!” Seolah-olah, di mata mereka itu, kembali ke UUD 1945 adalah proyek restorasi orde baru.

Ah, orang-orang ini tidak tahu sejarah. Orde baru tidak pernah melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Apa yang terjadi selama 32 tahun orde baru adalah pengebirian terhadap UUD 1945: kolonialisme direstorasi sejak 1967, demokrasi dan hak-hak berpendapat diinjak-injak, dan mayoritas rakyat telah dikeluarkan dari agenda pembangunan orba itu.

UUD 1945 dilahirkan oleh Revolusi Agustus 1945. Karena itu, jiwa dan semangat UUD 1945 adalah jiwa dan semangatnya Revolusi Agustus. “UUD 1945 adalah jiwa daripada revolusi 1945. UUD 1945 adalah anak kandung atau saudara kembar dari Proklamasi 17 Agustus 1945,” kata Soekarno, bapak pendiri bangsa kita.

Dengan demikian, upaya kembali ke UUD 1945 adalah bermakna kembali kepada semangat dan jiwa Revolusi Agustus. Ibarat orang yang sudah kesasar di tengah belantara, dengan bahaya sudah mengancam di hadapannya, maka tak ada pilihan selain bergegas mencari jalan pulang. Setelah itu, barulah kita berjalan kembali dengan penuh kehati-kehatian.

Hampir semua pergulatan gagasan dan cita-cita perjuangan bangsa kita terangkum dalam semangat Revolusi Agustus. Dan UUD 1945, yang dilahirkan sehari setelah proklamasi kemerdekaan, merupakan peta yang seharusnya menjaga kita dalam perjalanan panjang mengarungi cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.

Kini, peta itu sudah dimanipulasi kolonialis dan kaum liberal. Petunjuk jalan yang mesti kita lalui sudah dikaburkan. Di tengah kebingungan dan keputus-asaan melihat jalan mana menuju ke depan, para perampok datang silih-berganti merampasi barang-barang dan bekal kita. Itulah yang terjadi saat ini.

Kita harus kembali ke semangat UUD 1945 yang asli: anti-kolonialisme. Sebagai langkah demokratis untuk ke sana, saya mengusulkan dilaksanakannya sebuah referendum. Referendum ini hanya membawa satu tugas pokok: menanyakan kepada rakyat apakah mereka setuju atau tidak untuk kembali ke UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.

SUNARIO, warga negara Republik Indonesia (RI) dan tinggal di lereng Gunung Wilis, Madiun, Jawa Timur.

Senin, 09 April 2012

Makna SOSIALISME

Sebelum membicarakan masalah Sosialisme Indonesia lebih jauh, baik kiranya disini terlebih dahulu dikemukakan sekedar tentang sejarah timbulnya Sosialisme.

Penggunaan istilah “Sosialisme” sebgai suatu aliran faham politik dan gerakan sosial mulai tejadi dalam gerakan sosial yang dipelopori oleh Robert Owen di Inggris dalam tahun-tahun 30-an abad ke-19. Akan tetapi, jiwanya istilah ini, yakni sebagai suatu cita-cita atau angan-angan akan suatu masyarakat yang adil dan makmur, dimana tiada perbedaan antara kaya dan miskin, tiada penindasan dan penghisapan atas manusia oleh manusia, jauh sebelum Robert Owen, dan boleh dikatakan sejak terpecahnya masyarakat dalam klas-klas yang saling berlawanan, sudah terdapat dimana-mana, termasuk juga di Indonesia.

Di Eropa, misalnya, pada zaman Yunani Kuno, kita mengenal adanya “masyarakat ideal” yang diidam-idamkan oleh Plato (427-347 Sebelum Masehi). Menurut cita-cita Plato, masyarakat yang sempurna itu berbentuk negara Republik dengan kaum ksatria sebagai tulangpunggungnya. Kehidupan kaum ksatria itu merupakan teladan bagi seluruh masyarakat. Mereka hidup secara kolektif di dalam asrama-asrama yang disediakan oleh negara. Mereka tidak mempunyai hak milik perseorangan atas apapun juga. Segala kebutuhan hidupnya dijamin oleh negara, bahkan negara menyediakan wanita-wanita pilihan untuk dijadikan isteri mereka. Anak-anak mereka sejak lahir sudah dipisahkan dari orangtuanya dan dipelihara serta dididik oleh negara dalam tempat-tempat yang disediakan khusus untuknya. Kaum ibunya hanya diperkenankan datang ke tempat-tempat itu pada waktu-waktu yang sudah ditentukan untuk menyusui anak-anak yang ada disitu tanpa mengenali anaknya sendiri atau bukan. Apabila anak-anak itu sudah cukup besar, maka diajarkannya berbagai macam ilmu pengetahuan, diberikannya pendidikan jasmaniah dan rohaniah sampai dewasa sehingga menjadi manusia-manusia ksatria yang sempurna. Setelah itu mereka diberi tugas-tugas negara. Kepala negara dipilih diantara kaum ksatria itu. Demikianlah garis besar “masyarakat ideal” yang diimpikan oleh Plato pada waktu itu.

Sudah tentu “masyarakat ideal” Plato yang sedemikan itu dibangunkan berdasarkan filsafatnya yang berpendapat bahwa masyarakat itu baru bisa sempurna kalau orang-orangnya sempurna, dan orang-orangnya itu baru bisa menjadi sempurna kalau berpengetahuan dan berpendidikan baik. Akan tetapi, lahirnya angan-angan itu, bagaimanapun juga isinya, merupakan suatu pencerminan (refleksi) daripada keadaan sosial pada ketika itu. Sebagaimana kita ketahui, pada ketika itu masyarakat perbudakan di Atena sedang mulai mengalami dekadensinya, konflik-konflik sosial sudah nampak makin menajam, ketidakadilan dan keburukan sosial sudah menonjol, sementara itu juga sedang menghadapi ancaman-ancaman serangan dari negeri-negeri tetangganya, terutama Sparta yang sedang tumbuh kuat. Dalam menghadapi keadaan sosial yang suram itulah timbul kerinduan pada Plato akan suatu “masyarakat bangsawan” atau negara “Republik Ksatria” sebagai suatu konsep jalan-keluarnya. Akan tetapi, ide Plato itu agaknya terlampau ekstrim sehingga tak mendapat sambutan baik dari masyarakat, maupun dari murid-muridnya atau pengikut-pengikutnya yang tidak sedikit jumlahnya.

Pada masa sejarah yang lain, kita mengenal juga, misalnya, “masyarakat utopi” dari Sir Thomas More (1478-1535), seorang politikus dan sastrawan besar Inggris pada awal abad ke-16. Dalam karyanya Utopia, More disatu pihak melukiskan keadaan masyarakat yang sangat menyedihkan dibawah rezim Henry VIII, dimana Rakyat jelata menderita kesengsaraan yang sangat besar sebagai akibat dari kesewenangan dan kekejaman yang melampaui batas-batas kemanusiaan dari kaum ningrat dan kaum Gereja. Dipihak lain ia melukiskan keadaan masyarakat di pulau Utopia sebagai kontrasnya atau tandingannya. Di dalam masyarakat Utopi itu tiada sistim hak milik perseorangan atas alat-alat produksi: produksi masyarakat diatur dan dilakukan secara gotong-royong, dan hasil-hasilnya dibagi secara merata pula diantara anggota-anggota masyarakat sehingga dengan demikian lenyaplah perbedaan antara kaya dan miskin. Semua orang harus bekerja di lapangan produksi, baik pertanian maupun kerajinan-tangan sehingga tiada lagi perbedaan antara kota dan desa. Waktu kerja dikurangi menjadi 6 jam sehari, sedang sisa waktu luangnya digunakan sepenuhnya untuk aktivitas dilapangan keseniab, kesusasteraan dan ilmu. Lembaga-lembaga masyarakat dibentuk secara demokratis melalui pemilihan umum sehingga tiada lagi kediktatoran raja-raja, tiada lagi undang-undang dan peraturan-peraturan yang bengis dan mengekang kebebasan individu, semua anggota masyarakat mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat. Kejujuran dan kesederhanaan, persaudaraan dan kegotong-royongan menjadi ciri moral masyarakat. Sistim dan perlengkapan kemiliteran hanya ditujukan untuk membela diri, tidak untuk melakukan agresi terhadap negeri lainnya.

Masyarakat Utopi yang digambarkan oleh More itu justru adalah suatu refleksi dari keadaan sosial di Inggris pada zaman itu, dimana sedang berlangsung proses akumulasi primitif kapital. Beribu-ribu kaum tani diusir dari tanah garapannya dengan segala kekerasan dan kekejaman, dan diubahnya tanah-tanah ladang itu menjadi padang-padang penggembalaan domba-domba untuk memenuhi kebutuhan manufaktur-manufaktur tekstil akan bahan wol, sehingga More melukiskan keadaan pada ketika itu adalah zaman “domba makan orang”. Pertumbuhan cara produksi kapitalis yang menimbulkan ketidakadilan, kesengsaraan, keburukan sosial yang sangat menyolok mata dan menyakiti perasaan kemanusiaan itu telah membikin More takut melihat kedepan sehingga “masyarakat adil dan makmur” yang dicita-citakannya itu nampak jelas tidak menghendaki perkembangan industri lebih lanjut, melainkan mempertahankan pertanian dan kerajinan-tangan sebagai dasar produksi masyarakat, dan menganjurkan kesederhanaan atau pembatasan dalam kenikmatan kekayaan materil, tapi mengejar kenikmatan kekayaan spirituil, terutama di lapangan kesenian, yang dianggapnya sebagai kesenangan dan kebahagiaan hidup yang paling tinggi.

Hampir seabad kemudian, kita mengenal pula misalnya, adanya suatu cita-cita masyarakat “adil dan makmur” yang diidam-idamkan oleh seorang filosuf Italia, Tomaso Campanella (1568-1639), dalam karyanya yang termashur Kota Surya. Campanella semula adalah seorang paderi, tetapi kenyataan sosial yang pahit membikin ia kemudian menentang kekuasaan agam di negerinya. Pada ketika itu Italia dijajah oleh Spanyol, dengan menggunakan agama sebagai alat penindasannya yang efektif. Disamping mengemukakan filsafatnya dengan karyanya Philosophia Sensibus Demonstrata menentang filsafat skolastik yang berkuasa pada ketika itu, Campanella juga memimpin gerakan dibawah tanah untuk membebaskan tanah airnya dari penjajahan kerajaan Spanyol. Hal ini mengakibatkan ia kemudian tertangkap dan ditahan didalam penjara selama 27 tahun. Kota Surya adalah sebuah ciptaannya selama dalam tahanan itu. Dalam karyanya itu, Campanella disamping mencela hak milik perseorangan yang merupakan sumber dari segala kejahatan dan keburukan sosial, juga berpendapat bahwa kerja adalah kewajiban yang terhormat dan mutlak bagi setiap orang. Campanella menggambarkan Rakyat Kota Surya itu hidup dalam keadaan serba “samarata-samarasa” dalam makna bahwa tiada perbedaan dalam soal tempat tinggal, makan, pakaian, dsb. diantara anggota-anggota masyarakat. Dalam fantasi Campanella itu terdapat pikiran-pikiran yang maju, misalnya ia mengemukakan bahwa di dalam masyarakat yang tiada sistim hak milik perseorangan, yang tiada penindasan dan penghisapan serta ketidakadilan, maka kesenian, teknik dan ilmu pengetahuan barulah bisa berkembang maju, dan ini merupakan syarat mutlak bagi kemakmuran dan kebahagiaan masyarakat. Maka ia menggambarkan bahwa Rakyat Kota Surya itu hanya bekerja 4 jam sehari dengan menggunakan teknik yang tinggi untuk meringankan kerjanya dan menciptakan kehidupan yang makmur.

Cita-cita atau angan-angan akan suatu masyarakat “adil dan makmur” seperti berbagai contoh diatas, adalah sebagai refleksi dari keadaan sosial pada zamannya masing-masing, dan menunjukkan daya-bayang yang luar biasa akan arah perkembangan masyarakat dimasa depan. Akan tetapi karena semuanya itu bertolak dari keinginan subjektif semata-mata, sedangkan syarat-syarat sejarah yang ada padanya masih belum memungkinkan terjadinya hal tersebut, maka belum dapat menimbulkan suatu gerakan sosial sebagai kekuatan materiil untuk merealisasi cita-cita masyarakat itu. Sekalipun demikian, fikiran-fikiran yang terkandung didalam cita-cita itu, misalnya tentang penghapusan hak milik perseorangan atas alat-alat produksi, tentang pengusahaan produksi dan distribusi kekayaan masyarakat secara adil dan merata, tentang kerja dsb. mempunyai arti yang besar bagi lehiran Sosialisme ilmiah dikemudian hari. (DN Aidit)

Sumber: Buku Sosialisme Indonesia Dan Syarat-Syarat Pelaksanaannya.